Putri, Masih Bergetar dan Kepingin Lagi

Teks: Nanoq da Kansas, Foto: De'a Yogantara

Dia percaya bahwa berolah raga adalah jalan keluar paling mudah untuk menjaga kebugaran. Juga untuk menghilangkan ganjalan di hati. Dia berani bilang, bahwa kalau sedang patah hati, kalau sedang disakiti oleh orang yang dicintai, ya segeralah berolah raga. Entah jogging, atau sekedar jalan santai, niscaya beban di hati akan berangsur-angsur hilang. Perasaan pun jadi ringan, dan dunia kembali akan terasa indah.
Tetapi Putri, demikian dia dipanggil, toh tidak bisa menyembuhkan luka hati begitu saja. Dia mengaku setidaknya perlu waktu sebulan. “Ya, saya pernah disakiti. Dan itu membutuhkan waktu sebulanan untuk menetralisirnya,” ceritanya di sore bermendung itu. Dan therapi yang dia lakukan pun justru bukan dengan berolah raga, tetapi lebih banyak berkumpul dengan keluarga. Saat patah hati saya merasa lebih aman bersama keluarga saja, jelasnya seraya tertawa kecil.
Sore itu, Putri terkaget-kaget beberapa kali gara-gara kucing kesayangan di kantor Ge-M Magazine. Seolah tahu kalau Putri paling takut sama kucing, si mahluk berbulu lembut itu malah sengaja hilir-mudik dan melompat-lompat di dekatnya. “Beri saya hewan apa saja, saya tak takut. Tapi kucing, jangan!” seru mantan pelaku modeling ini serius.
Istirahat dari kegiatan modeling, mahasiswi semester IV Fakultas Ekonomi bernama lengkap Ni Made Putri Widarni ini memutuskan untuk mulai meniti karir. Sudah dua tahun ini dia bekerja di sebuah perusahaan suasta yang bergerak di bidang pembiayaan. “Perempuan juga harus punya karir. Bukan semata-mata ini berkaitan dengan kesetaraan jender, tetapi setidaknya perempuan juga harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa terus-terusan meminta pada orang tua atau suami,” demikian alumni Diploma I Sekretaris Hubungan Masyarakat (PR) ini.
Ada yang unik pada Putri saat ini. Keluar dari dunia fesien, bahkan dia selalu lupa menyimpan sekedar bedak, atau lipstick, atau sepotong sisir di tasnya. Padahal umumnya, cewek remaja, atau gadis sedewasa Putri akan selalu menyimpan benda-benda itu dalam tas yang dibawanya. “Bukan, bukan karena saya sok polos, tetapi yah, saya lupa saja membawa-bawa make up. Lagipula sekarang ini saya tidak pernah bepergian jauh. Dari pagi sampai sore di kantor. Malamnya kuliah. Lalu pulang, terus tidur. Jadi buat apa?” ujar si pecinta musik ini.
Sore beranjak petang. Gerismis kecil mulai menggoda. Dan Putri terkaget sekali lagi karena kucing itu datang lagi menerkam sepatunya. Ditanya, seandainya dia berlibur, mana yang akan dipilihnya, ke kota-kota yang ada mall atau ke mana? “Saya pasti memilih tempat-tempat seperti Ubud, atau ke suatu tempat yang walaupun ramai tetapi masih ada suasana tradisinya. Saya menyukai suasana yang lebih alamiah. Kalau ke mall misalnya, itu hanya untuk membeli suatu keperluan dan tidak akan berlama-lama,” ungkapnya.
Kecintaannya pada hal-hal yang berhubungan dengan tradisi, memang sudah melekat sejak masa kanak-kanak. Sejak di bangku sekolah dasar Putri belajar menari Bali. SMP sampai di SMA pun dia masih tetap menari, ikut di Pesta Kesenian Bali di Denpasar hingga Porsenijar di tingkat provinsi. “Sampai hari ini hati saya masih bergetar jika mendengar suara gamelan. Di samping menari Bali, dulu saya juga ikut nge-dance,” kenangnya.
Kendati tergolong masih muda, Putri ternyata juga cukup perhatian atas fenomena sosial negerinya. Dia mengaku tak habis pikir kenapa negeri yang luar biasa kaya dengan sumber daya alam ini sampai sekarang sebagian rakyatnya masih saja tergolong miskin. “Korupsi masih begitu kuat dan meluas ke mana-mana. Saya yakin inilah sumber kemiskinan, kebodohan dan penyebab pengangguran. Karena dana yang seharusnya dikelola oleh negara kita untuk menciptakan lapangan pekerjaan, habis dikorupsi oleh mereka yang punya akses pada kekuasaan,” ujarnya dengan nada prihatin. Menurut Putri, negeri ini masih belum menemukan pemimpin yang benar-benar kuat, berwibawa dan bersungguh-sungguh mau memperbaiki keadaan. Dan ketika ditanya bagaimana dengan presiden wanita misalnya, bungan natah yang pintar majejaitan ini langsung antusias. “Ya, saya kepingin lagi presiden wanita!

Ratih, Kalau ndeso ya Ndeso Sajalah

Teks: Nanoq da Kansas, Foto: De'a Yogantara

Ratih adalah nama Sang Dewi Bulan. Dewi yang berbagi tugas dengan Pangeran Matahari ketika gelap mulai turun ke dunia. Semacam kesadaran untuk berbagi tugas. Semacam emansipasi yang didasari pemahaman atas tempat dan waktu.
Tetapi Gusti Ayu Putu Ratih Pradnyandari merasa cantik kalau sedang mengenakan busana tradisional Bali. Entah siang atau pun di malam hari, balutan kebaya, kain tenun buatan tangan, sesenteng berikut gonjeran dengan setangkai cempaka emas yang terselip di lengkung ujung rambutnya, membuatnya merasa leluasa mengungkapkan identitas dirinya. “Ya, saya seorang perempuan. Seseorang yang akan berbagi dengan laki-laki menjalankan tugas-tugas dalam kehidupan. Perempuan dan laki-laki tidak boleh saling mendominasi. Keduanya harus sinergis, keduanya harus punya tepa selira agar perjalanan hidup menjadi lancar. Perempuan adalah perempuan, lelaki adalah lelaki. Tetapi keduanya dipasangkan Tuhan dengan tugas masing-masing yang bersifat kodrati. Itulah seharusnya emansipasi dan kesetaraan jender. Hanya saja lelaki terkadang agak egois. Tetapi, ah, perempuan juga sering egois. Sama saja. Jadi, ya, keduanya harus sama-sama nyadar,” ujarnya pada obrolan di sebuah siang.
Ratih baru saja selesai mengikuti Ujian Nasional. Tak lama lagi dia akan meninggalkan almamaternya, SMA Negeri 1 Negara. Ada dua pilihan untuk kelanjutan pendidikan yang ingin ditempuhnya, psikologi di Unair Surabaya atau kedokteran di Unud Denpasar. Kenapa psikologi? “Saya suka, dan ingin bisa memahami kehidupan manusia dari sisi kejiwaannya,” jawabnya mantap.
Bicara soal kejiwaan, dara berbintang Pisces ini merasakan ada persoalan dengan generasi muda bangsanya saat ini. Terutama di dunia pendidikan yang belakangan ini seolah dijadikan “permainan” oleh mereka yang merasa punya kuasa. “Suka atau tidak, kami anak-anak sekolah sekarang ini pada stress semua. Habis, kami diperlakukan seolah-olah mesin penyedot debu. Semua program pendidikan datangnya secara mendadak seperti debu di karpet ruang tamu. Tiba-tiba ada kurikulum KBK. Tiba-tiba ada kurikulum RAL. Sekonyong-konyong ada Ujian Nasional yang dibuat begitu menyeramkan dengan patokan harga mati. Sekonyong-konyong harus ada pelajaran dengan istilah muatan lokal, tetapi tidak jelas substansinya. Pokoknya, murid-murid dan para guru di Indonesia dibuat bingung,” serunya.
Ngobrol dengan penyandang gelar Juara III Pembaca Sloka se-Provinsi Bali ini memang seru. Dalam usia yang masih dini, wawasannya sudah begitu luas. Dia tak segan-segan melontarkan kritik terhadap sesuatu yang dilihatnya timpang, tetapi juga dengan jujur memuji yang dilihatnya baik. “Kalau yang jelek-jelek tidak boleh dikritik, lantas nanti jadi apa kita ini? Kalau maunya dipuji melulu, nanti kita justru jadi tertawaan orang lain,” ujarnya pula.
Seperti halnya remaja putri pada umumnya, Ratih juga suka nonton televisi. Dari trend acara televisi belakangan ini, dia menangkap fenomena sosial yang menarik pada bangsa ini. “Kalau mau belajar dari situasi dan fenomena yang ada, sebenarnya saat ini masyarakat sedang mengajak para elit kita untuk jujur dan kembali kepada diri sendiri. Coba saja lihat figur-figur publik yang belakangan ini diidolakan masyarakat bawah. Ada Oneng dan Thukul. Keduanya sangat digemari dan mampu mengangkat ratting acara televisi secara luar biasa. Dan kedua-duanya adalah figur o’on. Itu artinya, kita semua sudah lelah, bosan dan muak dengan hal-hal yang seolah-olah dibuat serius tetapi tak pernah ada hasilnya. Maka sekarang kita ingin segala sesuatu berjalan apa adanya saja. Kalau bangsa ini adalah bangsa o’on ya akui saja memang o’on. Kalau bangsa ini bangsa katrok atau ndeso, yang memang itulah kita sebenarnya. Gak usah ditutup-tutupi dengan pura-pura intelek, pura-pura fasih berteknologi, pura-pura santun. Buktinya sampai sekarang kita memang ndeso,” demikian sulung yang meraih gelar terbaik se-Jembrana sebagai Penari Oleg ini.
Kembali ngobrol soal dunia pendidikan, Ratih dengan agak murung mengatakan bahwa para siswa di Indonesia saat ini adalah generasi yang sesungguhnya telah kehilangan hak belajarnya. “Setelah kelas tiga SMA ini, saya mulai menyadari bahwa sistem pendidikan kita saat ini tidak cukup baik. Terutama setelah ada Ujian Nasional itu. Sekolah-sekolah dan ruang kelas kita berubah menjadi hanya tempat kursus untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, sebagai generasi muda yang sedang belajar, generasi saya ini adalah generasi yang kehilangan proses belajar yang semestinya. Padahal proses itu adalah hak yang harus diberikan kepada generasi muda agar pendewasaannya berjalan baik. Saya kira para elit perlu memikirkan ini kembali,” pungkas penyandang Juara Umum III di sekolahnya ini.

Mita: Pertama Wanginya, Lalu…

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Sore itu adalah kencan kami yang pertama. Tetapi dia sudah berani jujur berkata, bahwa kesan orang, pertama bisa dinilai dari wanginya. “Kalau seseorang itu wangi dan segar, berarti dia adalah orang yang bisa diandalkan karena punya kepedulian. Peduli dengan dirinya sendiri, berarti peduli dengan setiap hal. Bayangkan, kalau orang sudah tidak peduli kepada dirinya sendiri saja, bagaimana bisa diandalkan?” Begitu dia berargumen.
Bagi lajang yang Oktober nanti memasuki usia 23 ini, tahun ini adalah awal karier yang istimewa sekaligus penuh tantangan. Tamat dari STPDN, dia langsung mendapat job bersama para senior di bagian protokol Pemkab Jembrana. “Sesuatu yang bagi saya adalah riskan karena punya resiko langsung. Karena tugas ini menyangkut penjagaan citra, imej dan wibawa pemerintah daerah Jembrana. Jadi kami, harus selalu banyak belajar,” demikian alumnus SMA Negeri 1 Mendoyo ini.
Belajar bagi Mita, adalah dengan memberi perhatian penuh terhadap tugas yang sedang diemban. Tidak bisa diam begitu saja kalau belum sepenuhnya paham. “Rajin bertanya pada yang lebih berpengalaman, itu salah satu resep ampuh saya. Tidak usah malu bertanya untuk menjadi lebih baik,” lanjut pemilik nama lengkap Dwi Karyna Paramita ini. Dalam hal ini, Mita mengaku sangat percaya bahwa komunikasi adalah kunci untuk menyelesaikan masalah. “Tanpa komunikasi yang baik, segala sesuatu akan sulit diselesaikan. Ya, misalnya bertanyalah kalau kita belum bisa,” lanjutnya.
Mengaku suka bangun siang kalau sedang libur. Tetapi yang dimaksudnya dengan bangun siang itu adalah jam tujuh pagi. Juga mengaku tidak bisa memasak, tetapi yang dimaksudnya adalah memasak cap cay, spagheti dan sejenisnya. “Kalau memasak buat sehari-hari sih biasa, tetapi jarang karena gak sempat,” ujarnya tertawa.
Karena senja itu udara cukup panas, kami lalu ngobrol soal es jeruk. Lalu soal cendol. Nah, menyinggung cendol, wajahnya langsung antusias. “Itu sangat enak. Sayangnya sekarang sudah jarang orang bikin cendol. Sekarang industri telah mendorong orang untuk serba instan, tinggal buka tutup botol atau buka kaleng, selesai. Harus kita bangun kesadaran bersama bahwa modernisasi dan mesinisasi telah banyak merenggut potensi lokal kita. Kita jadi serba menggampangkan, dan cenderung malas,” keluhnya.
Sore itu kami tidak ngobrol soal warna kegemaran, tidak ngobrol soal makanan favorit, tidak ngobrol soal mode. Karena kami sepakat bahwa hal-hal seperti itu cenderung lebih mengalah kepada trend. “Coba saja lihat anak-anak remaja kita sekarang. Mereka bahkan sepertinya tidak peduli dengan mode. Mereka asal ikut trend saja. Kalau bicara soal mode, berarti kita bicara soal estetika atau nilai seni yang terkandung di dalamnya. Tetapi bagaimana kita bisa bicara estetika dalam trend celana melorot misalnya? Bagaimana kita bicara soal warna kegemaran kalau tiba-tiba setiap remaja mengaku suka warna pink? Semua berwarna pink. Dari sandal jepit, jepit rambut, sampe keset di kamar mandi warnanya pink. Lalu tiba-tiba semua orang suka warna kuning. Setiap toko baju menjual baju yang dominan kuning. Lalu berganti biru, semua biru. Padahal mereka hanya ngikut-ngikut dan tidak sadar sedang didorong oleh kapitalisasi yang punya industri. Dalam situasi begini yang untung cuma pabrik dan dagang,” demikian Mita.
Senja terus merayap. Segelas panjang es jeruk baru sedikit dicicipnya. Senja itu dia memang terburu waktu. “Please, the time is over,” dia gelisah. Lalu pamit dan bergegas, kerena petang itu Mita akan bertugas dalam acara puncak peringatan HUT ke-113 Kota Negara, dan dia harus berdandan. Selamat bertugas, Mita. Semoga kita akan bertemu lagi di senja yang lain…

Perempuan Itu…

Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika ia bernama Ibu, maka sepanjang hayat ia berada di hati dan di sisi kita. Ia menjadi sumber dalam kehidupan kita. Sumber kasih sayang nan tak berujung. Sumber cinta nan iklas tak berharap imbalan apapun. Sumber kekuatan di saat kita mendapat masalah. Sumber kepercayaan di saat kita butuh tempat buat mengadu. Ketika perempuan itu bernama ibu, betapa dekatnya kita dengannya. Bahkan kita tak bisa menyembunyikan rahasia terdalam di hati kita. Karena seorang ibu adalah perempuan yang dipercaya Tuhan untuk memberi kesempatan kepada kita untuk ada di kehidupan ini. Kepada musuh dan lawan kita tak jerih setapak pun, tetapi di haribaan pangkuan ibu kita tunduk dan bertaubat.
Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika dia bernama istri, dialah pasangan di dalam segala upaya sekaligus pasangan di saat berbagi. Bersamanya kita berupaya di dalam menjalani tugas kehidupan. Dengannya kita berbagi di dalam mengatasi beban dan permasalahan keseharian. Bersamanya kita berbagi pikiran, gagasan serta rencana untuk berbagai solusi. Bahkan bersamanya pula kita berbagi rasa senang, sakit, hingga berbagi kesepian. Ketika perempuan itu bernama istri, betapa dekatnya kita dengannya. Nyaris tak berjarak, serasa kita hafal jumlah helai rambut dan lubang pori-pori di sekujur tubuhnya. Kepada musuh dan lawan seorang lelaki menantang, tetapi pada tatapan dan peluk kasih istri seorang jagoan menjadi jinak.
Ketika perempuan itu bernama siapa saja, bersamanya pula kita ditakdirkan mengisi semesta kehidupan ini. Perempuanlah yang membuat kehidupan menjadi harmoni di dunia lelaki, dan demikian sebaliknya, lelaki tiada lain adalah pembawa harmoni pula bagi dunia perempuan. Dan sejatinya, tiada maksud apapun dari kehidupan yang diciptakan Tuhan ini kecuali untuk satu tujuan: harmoni!
Sayangnya, kita semua acapkali mengabaikan harmoni. Kita, terutama laki-laki, lebih berkarib kepada ego gender dan berikukuh pada argumen kodrati. Perempuan yang sejatinya selalu bersama-sama dengan kita membentuk harmoni kehidupan, senantiasa lebih ditempatkan pada posisi sebagai “yang kedua” atau posisi “yang setelah”. Bahwa, ego selalu membuat laki-laki menempatkan dirinya sebagai “yang serba”, yakni serba bisa dan serba mampu, serta serba menguasai!
Ironisnya, mungkin karena ego gender laki-laki ini sudah lestari begitu lama bahkan sepanjang usia kehidupan itu sendiri, perempuan pun seolah dengan alamiah ber-“tahu diri” untuk menempatkan dirinya sebagai “yang setelah” itu. Dan kita kemudian dengan sederhana mendefinisikan, bahwa sudah kodratnyalah perempuan harus berada di dapur dan di halaman rumah, sementara lelaki turun ke jalan dan dengan merdeka boleh memasuki setiap bagian kehidupan, dari tempat yang paling benderang hingga lorong-lorong paling gelap dan culas di dunia ini.
Karena terpaksa untuk mengambil sikap tahu diri inilah, perempuan justru kian ditinggalkan. Dunia yang kemudian secara de facto dikuasai dan diatur kaum lelaki, menciptakan garis pemisah atas perempuan dan keperempuanan. Bahkan sepanjang pengalaman kita hingga hari ini, laki-laki pun memproyeksikan Tuhan seakan-akan menjadi diskriminatif. Bahwa wahyu Tuhan konon hanya diturunkan kepada lelaki. Tuhan belum pernah memilih perempuan untuk menjadi nabi.
Maka di dalam fakta, sadar atau tidak, dunia dan kehidupan yang diatur laki-laki ini selalu munafik atas keberadaan kaum perempuan, karena sejatinya lelaki selalu jerih bersaing dengan mereka. Dan untuk membenarkan agar perempuan memang lebih lemah, lebih bodoh serta lebih tak berbobot dengan laki-laki, kaum lelaki dengan kekuatan dan kekuasaannya membatasi kiprah perempuan. Dalam jangka waktu yang lama sekali, perempuan dikondisikan untuk tidak perlu bahkan tidak boleh ikut bersekolah. Pun ketika jaman sudah berubah dan istilah emansipasi didengung-dengungkan, perempuan masih tidak perlu ikut berpolitik. Perempuan tidak perlu ikut mengambil kebijakan. Perempuan tidak perlu ikut mengambil keputusan. Kalau bisa, perempuan tidak usah ada di mana-mana kecuali di tempat untuk kebutuhan biologis seputar melahirkan anak, menyusui, menyediakan makanan dan merawat laki-laki.
Begitu teganya dunia yang diatur dalam kebijakan laki-laki. Perempuan yang begitu dekat dengan kita, yang membuat harmoni kehidupan, selalu kita tinggalkan dengan perasaan tak bersalah. Perempuan itu…, memang masih termajinalkan hingga hari ini!
Ditulis oleh: Nanoq da Kansas

Perempuan & Beban Peradaban

Berbicara tentang keberadaan kaum perempuan di dalam wilayah politik demokrasi, kita sering terperangkap ke dalam mitos-mitos atas keberadaan kaum perempuan itu sendiri, yang kemudian dibalut berbagai perilaku adat budaya yang menjadi kendala dan membuat kaum perempuan semakin jauh dari partisipasi politik dan demokrasi itu sendiri.
Kendala pertama dan utama yang dihadapi kaum perempuan di banyak negara berkembang, termasuk juga Indonesia, adalah kendala sosio cultural yang senantiasa dikembangbiakkan sehingga benar-benar menjelma menjadi perangkap dan memasung perilaku kaum perempuan di kancah politik dan demokrasi.
Di sini sangatlah terasa, bagaimana adat dan budaya serta turunannya terasa demikian dominan di dalam membatasi gerak dan perilaku perempuan di ranah politik demokrasi. Kenyataan getir ini tentu semakin menjauhkan kaum perempuan dari wilayah yang sebenarnya menjadi ranah yang sangat terbuka bagi siapa saja.
Bukankah di ranah demokasi, penghargaan akan hak-hak azasi manusia serta persamaan akan hak dan derajat manusiawi tidak pernah dibedakan antara kaum pria dan kaum perempuan?
Dan pertanyaannya kemudian adalah, kenapa kaum perempuan kebanyakan sepertinya sangat menikmati keterpasungan kodratinya di ranah demokrasi dan politik?
Budaya Lanang Masih kuatnya cengkraman serta anutan “budaya lanang” yang dianut oleh masyarakat, memang terasa semakin meminggirkan kaum perempuan di dalam setiap tindak tanduk serta perilakunya. Bahkan di ranah adat, sangatlah terasa bagaimana aturan-aturan serta piranti-piranti adat secara sistematis memarginalkan keberadaan kaum perempuan di dalam setiap perilakunya. Kenyataan tak terbantahkan ini benar-benar membuat kaum perempuan berada pada wilayah ketidakberdayaan.
Kalaupun kaum perempuan harus dibuat berdaya, sejatinya itu tidak lebih dari sekedar perilaku yang bersifat simbolik dan formalistik. Seperti pembentukan dan keberadaan organisasi-organisasi bagi kaum perempuan, baik yang berlatar belakang adat ataupun non adat, seperti ”krama istri” hingga organisasi ibu-ibu dharma wanita, dharma pertiwi, bhayangkari, dan organisasi kaum ibu dan kaum perempuan lainnya.
Tidak Berdaya? Pertanyaannya kemudian, benarkah kaum perempuan tidak berdaya?
Banyak penelitian menyatakan ternyata di balik sebutan kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, di sana terselip kekuatan yang amat sangat besar yang dapat mempengaruhi setiap keputusan yang akan diambil kaum pria. Contoh paling radikal adalah bagaimana keberadaan dan pengaruh sosok Ibu Tien Soeharto, sehingga digambarkan sebagai tokoh yang mampu dan secara dominan dapat mempengaruhi setiap keputusan-keputusan yang harus diambil oleh Pak Harto saat menjabat sebagai Presiden RI.
Lantas, bagaimanakah dengan keberadaan kaum perempuan yang lain? Di dalam hasil penelitiannya, Hildred Geertz menyatakan bahwa sejatinya kaum perempuan mempunyai pengaruh yang sangat besar di alam rumah tangganya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan-keptusan akhir di alam rumah tangga diberikan/diambil oleh seorang istri (kaum perempuan-red). Lantas apa makna dari hasil penelitian Geertz bagi peran kaum perempuan di dalam membangun peradaban serta budaya politik dan demokrasi?
Meskipun keberadaan kaum perempuan di dalam rumah tangga dianggap berpengaruh, tetapi di luar ranah itu, posisi, peran, dan status kaum perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. Sebagai contoh, di dalam setiap pertemuan atau forum baik dinas maupun adat, suara perempuan memang tidak pernah didengarkan. Bahkan hak untuk hadir pun sering tidak ada serta diabaikan. Perilaku ini semakin menegaskan, secara kultural, kaum perempuan belumlah mampu sejajar dengan kaum pria.
Jika diasumsikan bahwa apa yang menjadi hasil penelitian Geertz itu benar adanya, maka itu berarti peran kaum perempuan untuk ikut terlibat di dalam membangun peradaban dan budaya politik demokrasi dapat dimulai dari tataran rumah tangga. Karena memang di sanalah kaum perempuan memiliki kuasa dan kekuasaan, termasuk kekuatan untuk mempengaruhi kaum pria (suami-red) untuk menyuarakan hak-hak politik dan demokrasi mereka (kaum perempuan-red) pada tataran yang lebih luas, di luar rumah tangga mereka!
Ditulis oleh: DS. Putra