Putri, Masih Bergetar dan Kepingin Lagi

Teks: Nanoq da Kansas, Foto: De'a Yogantara

Dia percaya bahwa berolah raga adalah jalan keluar paling mudah untuk menjaga kebugaran. Juga untuk menghilangkan ganjalan di hati. Dia berani bilang, bahwa kalau sedang patah hati, kalau sedang disakiti oleh orang yang dicintai, ya segeralah berolah raga. Entah jogging, atau sekedar jalan santai, niscaya beban di hati akan berangsur-angsur hilang. Perasaan pun jadi ringan, dan dunia kembali akan terasa indah.
Tetapi Putri, demikian dia dipanggil, toh tidak bisa menyembuhkan luka hati begitu saja. Dia mengaku setidaknya perlu waktu sebulan. “Ya, saya pernah disakiti. Dan itu membutuhkan waktu sebulanan untuk menetralisirnya,” ceritanya di sore bermendung itu. Dan therapi yang dia lakukan pun justru bukan dengan berolah raga, tetapi lebih banyak berkumpul dengan keluarga. Saat patah hati saya merasa lebih aman bersama keluarga saja, jelasnya seraya tertawa kecil.
Sore itu, Putri terkaget-kaget beberapa kali gara-gara kucing kesayangan di kantor Ge-M Magazine. Seolah tahu kalau Putri paling takut sama kucing, si mahluk berbulu lembut itu malah sengaja hilir-mudik dan melompat-lompat di dekatnya. “Beri saya hewan apa saja, saya tak takut. Tapi kucing, jangan!” seru mantan pelaku modeling ini serius.
Istirahat dari kegiatan modeling, mahasiswi semester IV Fakultas Ekonomi bernama lengkap Ni Made Putri Widarni ini memutuskan untuk mulai meniti karir. Sudah dua tahun ini dia bekerja di sebuah perusahaan suasta yang bergerak di bidang pembiayaan. “Perempuan juga harus punya karir. Bukan semata-mata ini berkaitan dengan kesetaraan jender, tetapi setidaknya perempuan juga harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa terus-terusan meminta pada orang tua atau suami,” demikian alumni Diploma I Sekretaris Hubungan Masyarakat (PR) ini.
Ada yang unik pada Putri saat ini. Keluar dari dunia fesien, bahkan dia selalu lupa menyimpan sekedar bedak, atau lipstick, atau sepotong sisir di tasnya. Padahal umumnya, cewek remaja, atau gadis sedewasa Putri akan selalu menyimpan benda-benda itu dalam tas yang dibawanya. “Bukan, bukan karena saya sok polos, tetapi yah, saya lupa saja membawa-bawa make up. Lagipula sekarang ini saya tidak pernah bepergian jauh. Dari pagi sampai sore di kantor. Malamnya kuliah. Lalu pulang, terus tidur. Jadi buat apa?” ujar si pecinta musik ini.
Sore beranjak petang. Gerismis kecil mulai menggoda. Dan Putri terkaget sekali lagi karena kucing itu datang lagi menerkam sepatunya. Ditanya, seandainya dia berlibur, mana yang akan dipilihnya, ke kota-kota yang ada mall atau ke mana? “Saya pasti memilih tempat-tempat seperti Ubud, atau ke suatu tempat yang walaupun ramai tetapi masih ada suasana tradisinya. Saya menyukai suasana yang lebih alamiah. Kalau ke mall misalnya, itu hanya untuk membeli suatu keperluan dan tidak akan berlama-lama,” ungkapnya.
Kecintaannya pada hal-hal yang berhubungan dengan tradisi, memang sudah melekat sejak masa kanak-kanak. Sejak di bangku sekolah dasar Putri belajar menari Bali. SMP sampai di SMA pun dia masih tetap menari, ikut di Pesta Kesenian Bali di Denpasar hingga Porsenijar di tingkat provinsi. “Sampai hari ini hati saya masih bergetar jika mendengar suara gamelan. Di samping menari Bali, dulu saya juga ikut nge-dance,” kenangnya.
Kendati tergolong masih muda, Putri ternyata juga cukup perhatian atas fenomena sosial negerinya. Dia mengaku tak habis pikir kenapa negeri yang luar biasa kaya dengan sumber daya alam ini sampai sekarang sebagian rakyatnya masih saja tergolong miskin. “Korupsi masih begitu kuat dan meluas ke mana-mana. Saya yakin inilah sumber kemiskinan, kebodohan dan penyebab pengangguran. Karena dana yang seharusnya dikelola oleh negara kita untuk menciptakan lapangan pekerjaan, habis dikorupsi oleh mereka yang punya akses pada kekuasaan,” ujarnya dengan nada prihatin. Menurut Putri, negeri ini masih belum menemukan pemimpin yang benar-benar kuat, berwibawa dan bersungguh-sungguh mau memperbaiki keadaan. Dan ketika ditanya bagaimana dengan presiden wanita misalnya, bungan natah yang pintar majejaitan ini langsung antusias. “Ya, saya kepingin lagi presiden wanita!

Ratih, Kalau ndeso ya Ndeso Sajalah

Teks: Nanoq da Kansas, Foto: De'a Yogantara

Ratih adalah nama Sang Dewi Bulan. Dewi yang berbagi tugas dengan Pangeran Matahari ketika gelap mulai turun ke dunia. Semacam kesadaran untuk berbagi tugas. Semacam emansipasi yang didasari pemahaman atas tempat dan waktu.
Tetapi Gusti Ayu Putu Ratih Pradnyandari merasa cantik kalau sedang mengenakan busana tradisional Bali. Entah siang atau pun di malam hari, balutan kebaya, kain tenun buatan tangan, sesenteng berikut gonjeran dengan setangkai cempaka emas yang terselip di lengkung ujung rambutnya, membuatnya merasa leluasa mengungkapkan identitas dirinya. “Ya, saya seorang perempuan. Seseorang yang akan berbagi dengan laki-laki menjalankan tugas-tugas dalam kehidupan. Perempuan dan laki-laki tidak boleh saling mendominasi. Keduanya harus sinergis, keduanya harus punya tepa selira agar perjalanan hidup menjadi lancar. Perempuan adalah perempuan, lelaki adalah lelaki. Tetapi keduanya dipasangkan Tuhan dengan tugas masing-masing yang bersifat kodrati. Itulah seharusnya emansipasi dan kesetaraan jender. Hanya saja lelaki terkadang agak egois. Tetapi, ah, perempuan juga sering egois. Sama saja. Jadi, ya, keduanya harus sama-sama nyadar,” ujarnya pada obrolan di sebuah siang.
Ratih baru saja selesai mengikuti Ujian Nasional. Tak lama lagi dia akan meninggalkan almamaternya, SMA Negeri 1 Negara. Ada dua pilihan untuk kelanjutan pendidikan yang ingin ditempuhnya, psikologi di Unair Surabaya atau kedokteran di Unud Denpasar. Kenapa psikologi? “Saya suka, dan ingin bisa memahami kehidupan manusia dari sisi kejiwaannya,” jawabnya mantap.
Bicara soal kejiwaan, dara berbintang Pisces ini merasakan ada persoalan dengan generasi muda bangsanya saat ini. Terutama di dunia pendidikan yang belakangan ini seolah dijadikan “permainan” oleh mereka yang merasa punya kuasa. “Suka atau tidak, kami anak-anak sekolah sekarang ini pada stress semua. Habis, kami diperlakukan seolah-olah mesin penyedot debu. Semua program pendidikan datangnya secara mendadak seperti debu di karpet ruang tamu. Tiba-tiba ada kurikulum KBK. Tiba-tiba ada kurikulum RAL. Sekonyong-konyong ada Ujian Nasional yang dibuat begitu menyeramkan dengan patokan harga mati. Sekonyong-konyong harus ada pelajaran dengan istilah muatan lokal, tetapi tidak jelas substansinya. Pokoknya, murid-murid dan para guru di Indonesia dibuat bingung,” serunya.
Ngobrol dengan penyandang gelar Juara III Pembaca Sloka se-Provinsi Bali ini memang seru. Dalam usia yang masih dini, wawasannya sudah begitu luas. Dia tak segan-segan melontarkan kritik terhadap sesuatu yang dilihatnya timpang, tetapi juga dengan jujur memuji yang dilihatnya baik. “Kalau yang jelek-jelek tidak boleh dikritik, lantas nanti jadi apa kita ini? Kalau maunya dipuji melulu, nanti kita justru jadi tertawaan orang lain,” ujarnya pula.
Seperti halnya remaja putri pada umumnya, Ratih juga suka nonton televisi. Dari trend acara televisi belakangan ini, dia menangkap fenomena sosial yang menarik pada bangsa ini. “Kalau mau belajar dari situasi dan fenomena yang ada, sebenarnya saat ini masyarakat sedang mengajak para elit kita untuk jujur dan kembali kepada diri sendiri. Coba saja lihat figur-figur publik yang belakangan ini diidolakan masyarakat bawah. Ada Oneng dan Thukul. Keduanya sangat digemari dan mampu mengangkat ratting acara televisi secara luar biasa. Dan kedua-duanya adalah figur o’on. Itu artinya, kita semua sudah lelah, bosan dan muak dengan hal-hal yang seolah-olah dibuat serius tetapi tak pernah ada hasilnya. Maka sekarang kita ingin segala sesuatu berjalan apa adanya saja. Kalau bangsa ini adalah bangsa o’on ya akui saja memang o’on. Kalau bangsa ini bangsa katrok atau ndeso, yang memang itulah kita sebenarnya. Gak usah ditutup-tutupi dengan pura-pura intelek, pura-pura fasih berteknologi, pura-pura santun. Buktinya sampai sekarang kita memang ndeso,” demikian sulung yang meraih gelar terbaik se-Jembrana sebagai Penari Oleg ini.
Kembali ngobrol soal dunia pendidikan, Ratih dengan agak murung mengatakan bahwa para siswa di Indonesia saat ini adalah generasi yang sesungguhnya telah kehilangan hak belajarnya. “Setelah kelas tiga SMA ini, saya mulai menyadari bahwa sistem pendidikan kita saat ini tidak cukup baik. Terutama setelah ada Ujian Nasional itu. Sekolah-sekolah dan ruang kelas kita berubah menjadi hanya tempat kursus untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, sebagai generasi muda yang sedang belajar, generasi saya ini adalah generasi yang kehilangan proses belajar yang semestinya. Padahal proses itu adalah hak yang harus diberikan kepada generasi muda agar pendewasaannya berjalan baik. Saya kira para elit perlu memikirkan ini kembali,” pungkas penyandang Juara Umum III di sekolahnya ini.

Mita: Pertama Wanginya, Lalu…

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Sore itu adalah kencan kami yang pertama. Tetapi dia sudah berani jujur berkata, bahwa kesan orang, pertama bisa dinilai dari wanginya. “Kalau seseorang itu wangi dan segar, berarti dia adalah orang yang bisa diandalkan karena punya kepedulian. Peduli dengan dirinya sendiri, berarti peduli dengan setiap hal. Bayangkan, kalau orang sudah tidak peduli kepada dirinya sendiri saja, bagaimana bisa diandalkan?” Begitu dia berargumen.
Bagi lajang yang Oktober nanti memasuki usia 23 ini, tahun ini adalah awal karier yang istimewa sekaligus penuh tantangan. Tamat dari STPDN, dia langsung mendapat job bersama para senior di bagian protokol Pemkab Jembrana. “Sesuatu yang bagi saya adalah riskan karena punya resiko langsung. Karena tugas ini menyangkut penjagaan citra, imej dan wibawa pemerintah daerah Jembrana. Jadi kami, harus selalu banyak belajar,” demikian alumnus SMA Negeri 1 Mendoyo ini.
Belajar bagi Mita, adalah dengan memberi perhatian penuh terhadap tugas yang sedang diemban. Tidak bisa diam begitu saja kalau belum sepenuhnya paham. “Rajin bertanya pada yang lebih berpengalaman, itu salah satu resep ampuh saya. Tidak usah malu bertanya untuk menjadi lebih baik,” lanjut pemilik nama lengkap Dwi Karyna Paramita ini. Dalam hal ini, Mita mengaku sangat percaya bahwa komunikasi adalah kunci untuk menyelesaikan masalah. “Tanpa komunikasi yang baik, segala sesuatu akan sulit diselesaikan. Ya, misalnya bertanyalah kalau kita belum bisa,” lanjutnya.
Mengaku suka bangun siang kalau sedang libur. Tetapi yang dimaksudnya dengan bangun siang itu adalah jam tujuh pagi. Juga mengaku tidak bisa memasak, tetapi yang dimaksudnya adalah memasak cap cay, spagheti dan sejenisnya. “Kalau memasak buat sehari-hari sih biasa, tetapi jarang karena gak sempat,” ujarnya tertawa.
Karena senja itu udara cukup panas, kami lalu ngobrol soal es jeruk. Lalu soal cendol. Nah, menyinggung cendol, wajahnya langsung antusias. “Itu sangat enak. Sayangnya sekarang sudah jarang orang bikin cendol. Sekarang industri telah mendorong orang untuk serba instan, tinggal buka tutup botol atau buka kaleng, selesai. Harus kita bangun kesadaran bersama bahwa modernisasi dan mesinisasi telah banyak merenggut potensi lokal kita. Kita jadi serba menggampangkan, dan cenderung malas,” keluhnya.
Sore itu kami tidak ngobrol soal warna kegemaran, tidak ngobrol soal makanan favorit, tidak ngobrol soal mode. Karena kami sepakat bahwa hal-hal seperti itu cenderung lebih mengalah kepada trend. “Coba saja lihat anak-anak remaja kita sekarang. Mereka bahkan sepertinya tidak peduli dengan mode. Mereka asal ikut trend saja. Kalau bicara soal mode, berarti kita bicara soal estetika atau nilai seni yang terkandung di dalamnya. Tetapi bagaimana kita bisa bicara estetika dalam trend celana melorot misalnya? Bagaimana kita bicara soal warna kegemaran kalau tiba-tiba setiap remaja mengaku suka warna pink? Semua berwarna pink. Dari sandal jepit, jepit rambut, sampe keset di kamar mandi warnanya pink. Lalu tiba-tiba semua orang suka warna kuning. Setiap toko baju menjual baju yang dominan kuning. Lalu berganti biru, semua biru. Padahal mereka hanya ngikut-ngikut dan tidak sadar sedang didorong oleh kapitalisasi yang punya industri. Dalam situasi begini yang untung cuma pabrik dan dagang,” demikian Mita.
Senja terus merayap. Segelas panjang es jeruk baru sedikit dicicipnya. Senja itu dia memang terburu waktu. “Please, the time is over,” dia gelisah. Lalu pamit dan bergegas, kerena petang itu Mita akan bertugas dalam acara puncak peringatan HUT ke-113 Kota Negara, dan dia harus berdandan. Selamat bertugas, Mita. Semoga kita akan bertemu lagi di senja yang lain…

Perempuan Itu…

Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika ia bernama Ibu, maka sepanjang hayat ia berada di hati dan di sisi kita. Ia menjadi sumber dalam kehidupan kita. Sumber kasih sayang nan tak berujung. Sumber cinta nan iklas tak berharap imbalan apapun. Sumber kekuatan di saat kita mendapat masalah. Sumber kepercayaan di saat kita butuh tempat buat mengadu. Ketika perempuan itu bernama ibu, betapa dekatnya kita dengannya. Bahkan kita tak bisa menyembunyikan rahasia terdalam di hati kita. Karena seorang ibu adalah perempuan yang dipercaya Tuhan untuk memberi kesempatan kepada kita untuk ada di kehidupan ini. Kepada musuh dan lawan kita tak jerih setapak pun, tetapi di haribaan pangkuan ibu kita tunduk dan bertaubat.
Perempuan itu begitu dekat dengan kita. Ketika dia bernama istri, dialah pasangan di dalam segala upaya sekaligus pasangan di saat berbagi. Bersamanya kita berupaya di dalam menjalani tugas kehidupan. Dengannya kita berbagi di dalam mengatasi beban dan permasalahan keseharian. Bersamanya kita berbagi pikiran, gagasan serta rencana untuk berbagai solusi. Bahkan bersamanya pula kita berbagi rasa senang, sakit, hingga berbagi kesepian. Ketika perempuan itu bernama istri, betapa dekatnya kita dengannya. Nyaris tak berjarak, serasa kita hafal jumlah helai rambut dan lubang pori-pori di sekujur tubuhnya. Kepada musuh dan lawan seorang lelaki menantang, tetapi pada tatapan dan peluk kasih istri seorang jagoan menjadi jinak.
Ketika perempuan itu bernama siapa saja, bersamanya pula kita ditakdirkan mengisi semesta kehidupan ini. Perempuanlah yang membuat kehidupan menjadi harmoni di dunia lelaki, dan demikian sebaliknya, lelaki tiada lain adalah pembawa harmoni pula bagi dunia perempuan. Dan sejatinya, tiada maksud apapun dari kehidupan yang diciptakan Tuhan ini kecuali untuk satu tujuan: harmoni!
Sayangnya, kita semua acapkali mengabaikan harmoni. Kita, terutama laki-laki, lebih berkarib kepada ego gender dan berikukuh pada argumen kodrati. Perempuan yang sejatinya selalu bersama-sama dengan kita membentuk harmoni kehidupan, senantiasa lebih ditempatkan pada posisi sebagai “yang kedua” atau posisi “yang setelah”. Bahwa, ego selalu membuat laki-laki menempatkan dirinya sebagai “yang serba”, yakni serba bisa dan serba mampu, serta serba menguasai!
Ironisnya, mungkin karena ego gender laki-laki ini sudah lestari begitu lama bahkan sepanjang usia kehidupan itu sendiri, perempuan pun seolah dengan alamiah ber-“tahu diri” untuk menempatkan dirinya sebagai “yang setelah” itu. Dan kita kemudian dengan sederhana mendefinisikan, bahwa sudah kodratnyalah perempuan harus berada di dapur dan di halaman rumah, sementara lelaki turun ke jalan dan dengan merdeka boleh memasuki setiap bagian kehidupan, dari tempat yang paling benderang hingga lorong-lorong paling gelap dan culas di dunia ini.
Karena terpaksa untuk mengambil sikap tahu diri inilah, perempuan justru kian ditinggalkan. Dunia yang kemudian secara de facto dikuasai dan diatur kaum lelaki, menciptakan garis pemisah atas perempuan dan keperempuanan. Bahkan sepanjang pengalaman kita hingga hari ini, laki-laki pun memproyeksikan Tuhan seakan-akan menjadi diskriminatif. Bahwa wahyu Tuhan konon hanya diturunkan kepada lelaki. Tuhan belum pernah memilih perempuan untuk menjadi nabi.
Maka di dalam fakta, sadar atau tidak, dunia dan kehidupan yang diatur laki-laki ini selalu munafik atas keberadaan kaum perempuan, karena sejatinya lelaki selalu jerih bersaing dengan mereka. Dan untuk membenarkan agar perempuan memang lebih lemah, lebih bodoh serta lebih tak berbobot dengan laki-laki, kaum lelaki dengan kekuatan dan kekuasaannya membatasi kiprah perempuan. Dalam jangka waktu yang lama sekali, perempuan dikondisikan untuk tidak perlu bahkan tidak boleh ikut bersekolah. Pun ketika jaman sudah berubah dan istilah emansipasi didengung-dengungkan, perempuan masih tidak perlu ikut berpolitik. Perempuan tidak perlu ikut mengambil kebijakan. Perempuan tidak perlu ikut mengambil keputusan. Kalau bisa, perempuan tidak usah ada di mana-mana kecuali di tempat untuk kebutuhan biologis seputar melahirkan anak, menyusui, menyediakan makanan dan merawat laki-laki.
Begitu teganya dunia yang diatur dalam kebijakan laki-laki. Perempuan yang begitu dekat dengan kita, yang membuat harmoni kehidupan, selalu kita tinggalkan dengan perasaan tak bersalah. Perempuan itu…, memang masih termajinalkan hingga hari ini!
Ditulis oleh: Nanoq da Kansas

Perempuan & Beban Peradaban

Berbicara tentang keberadaan kaum perempuan di dalam wilayah politik demokrasi, kita sering terperangkap ke dalam mitos-mitos atas keberadaan kaum perempuan itu sendiri, yang kemudian dibalut berbagai perilaku adat budaya yang menjadi kendala dan membuat kaum perempuan semakin jauh dari partisipasi politik dan demokrasi itu sendiri.
Kendala pertama dan utama yang dihadapi kaum perempuan di banyak negara berkembang, termasuk juga Indonesia, adalah kendala sosio cultural yang senantiasa dikembangbiakkan sehingga benar-benar menjelma menjadi perangkap dan memasung perilaku kaum perempuan di kancah politik dan demokrasi.
Di sini sangatlah terasa, bagaimana adat dan budaya serta turunannya terasa demikian dominan di dalam membatasi gerak dan perilaku perempuan di ranah politik demokrasi. Kenyataan getir ini tentu semakin menjauhkan kaum perempuan dari wilayah yang sebenarnya menjadi ranah yang sangat terbuka bagi siapa saja.
Bukankah di ranah demokasi, penghargaan akan hak-hak azasi manusia serta persamaan akan hak dan derajat manusiawi tidak pernah dibedakan antara kaum pria dan kaum perempuan?
Dan pertanyaannya kemudian adalah, kenapa kaum perempuan kebanyakan sepertinya sangat menikmati keterpasungan kodratinya di ranah demokrasi dan politik?
Budaya Lanang Masih kuatnya cengkraman serta anutan “budaya lanang” yang dianut oleh masyarakat, memang terasa semakin meminggirkan kaum perempuan di dalam setiap tindak tanduk serta perilakunya. Bahkan di ranah adat, sangatlah terasa bagaimana aturan-aturan serta piranti-piranti adat secara sistematis memarginalkan keberadaan kaum perempuan di dalam setiap perilakunya. Kenyataan tak terbantahkan ini benar-benar membuat kaum perempuan berada pada wilayah ketidakberdayaan.
Kalaupun kaum perempuan harus dibuat berdaya, sejatinya itu tidak lebih dari sekedar perilaku yang bersifat simbolik dan formalistik. Seperti pembentukan dan keberadaan organisasi-organisasi bagi kaum perempuan, baik yang berlatar belakang adat ataupun non adat, seperti ”krama istri” hingga organisasi ibu-ibu dharma wanita, dharma pertiwi, bhayangkari, dan organisasi kaum ibu dan kaum perempuan lainnya.
Tidak Berdaya? Pertanyaannya kemudian, benarkah kaum perempuan tidak berdaya?
Banyak penelitian menyatakan ternyata di balik sebutan kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, di sana terselip kekuatan yang amat sangat besar yang dapat mempengaruhi setiap keputusan yang akan diambil kaum pria. Contoh paling radikal adalah bagaimana keberadaan dan pengaruh sosok Ibu Tien Soeharto, sehingga digambarkan sebagai tokoh yang mampu dan secara dominan dapat mempengaruhi setiap keputusan-keputusan yang harus diambil oleh Pak Harto saat menjabat sebagai Presiden RI.
Lantas, bagaimanakah dengan keberadaan kaum perempuan yang lain? Di dalam hasil penelitiannya, Hildred Geertz menyatakan bahwa sejatinya kaum perempuan mempunyai pengaruh yang sangat besar di alam rumah tangganya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan-keptusan akhir di alam rumah tangga diberikan/diambil oleh seorang istri (kaum perempuan-red). Lantas apa makna dari hasil penelitian Geertz bagi peran kaum perempuan di dalam membangun peradaban serta budaya politik dan demokrasi?
Meskipun keberadaan kaum perempuan di dalam rumah tangga dianggap berpengaruh, tetapi di luar ranah itu, posisi, peran, dan status kaum perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. Sebagai contoh, di dalam setiap pertemuan atau forum baik dinas maupun adat, suara perempuan memang tidak pernah didengarkan. Bahkan hak untuk hadir pun sering tidak ada serta diabaikan. Perilaku ini semakin menegaskan, secara kultural, kaum perempuan belumlah mampu sejajar dengan kaum pria.
Jika diasumsikan bahwa apa yang menjadi hasil penelitian Geertz itu benar adanya, maka itu berarti peran kaum perempuan untuk ikut terlibat di dalam membangun peradaban dan budaya politik demokrasi dapat dimulai dari tataran rumah tangga. Karena memang di sanalah kaum perempuan memiliki kuasa dan kekuasaan, termasuk kekuatan untuk mempengaruhi kaum pria (suami-red) untuk menyuarakan hak-hak politik dan demokrasi mereka (kaum perempuan-red) pada tataran yang lebih luas, di luar rumah tangga mereka!
Ditulis oleh: DS. Putra

Jasmine, Berkesenian di Bali Kini Terlalu Berorientasi pada Uang

Teks & Foto: Dadap

Agem-nya sangat tekek. Tubuhnya meliuk begitu lemuh dengan sledet matanya sakadi tatit. Dalam balutan pakaian khas penari Bali, siapa sangka gadis ini adalah seorang ekspatriat. Jasmine, begitu sapaan akrab gadis Jepang yang lahir di Turki ini, memang begitu fasih menari Bali. Barangkali ia telah mematahkan mitos bahwa tak ada orang selain orang Bali sendiri yang mampu menemukan feel-nya saat menari Bali.
Pertama kali menginjakkan kaki di Bali saat umur 3 tahun, namun jatuh cinta pada tari Bali pada saat umurnya 9 tahun. “Papa saya adalah seorang pelukis dan juga penulis, namun sangat tidak komersial, bergaya hidup hippies, kami selalu tinggal berpindah-pindah. Suatu hari di umurku yang kesembilan aku diajak jalan-jalan ke Ubud menonton tari Calonarang. Sejak saat itulah tari Bali menjadi obsesiku,” tutur gadis berkulit kuning khas Jepang ini. “Pernah saya tonton tari India, Thailand, Jepang dan Turki tapi saya tidak tertarik. Saya begitu tertantang dengan tari Bali yang sangat energitic dan memiliki speed,” demikian dia melanjutkan dengan suara santun yang keluar dari bibirnya yang tetap merah walau tanpa digincu.
Saat ditanya pencapaiannya dalam menarikan tari Bali, penggemar tipat cantok dan pelecing yang juga seorang vegetarian ini menjawab dengan kalem. “Tahun 2005 saya juara pertama menari Oleg Tamulilingan di kampus walaupun sebagian pesertanya adalah penari Bali. Saya juga pernah tergabung dalam Sanggar Tedung Agung khususnya Sekaa Gong Bina Remaja di Ubud dan menjadi satu-satunya orang asing yang pernah tergabung di sana. Sering juga saya ngayah di pura-pura dan yang paling berkesan adalah saat ngayah di Besakih. Setelah saya melepas kostum, orang-orang terkejut dikira saya orang Bali asli,” ceritanya dengan logat yang sudah sangat “indonesia”.
Tari Bali telah dipentaskan si mungil bermata sipit ini di berbagai belahan dunia seperti Seattle (AS), Hawaii (AS), Jepang dan Turki. Di balik segudang pengalaman dan prestasinya, ternyata gadis bernama lengkap Mireki “Jasmine” Okubo ini masih sangat belia. 27 Juli tahun ini baru genap berusia 21 tahun. “Di Turki, sekolah dasar hanya berlangsung dua tahun. Karena kami tinggal berpindah-pindah, saya diputuskan untuk memilih home school yang memungkinkan sekolah on-line via internet. Karena itulah saya bisa menyelesaikan pendidikan menengah di usia 16 tahun,” kata runner-up Penari Indonesia 2006 ini.
Di usia yang masih sangat muda tersebut, penari yang salah satu idolanya adalah I Ketut Marya ini, sudah tercatat sebagai mahasiswi ISI Denpasar. Namun setelah semester VI, ia putuskan untuk berhenti karena kuliahnya mulai terkesan “itu-itu” saja.
Wajah manisnya menunjukkan ekspresi serius saat penari muda yang bercita-cita meneruskan studi tari di New York ini ditanya mengenai kesannya terhadap orang Bali. Menurutnya, orang Bali sangat giat dalam berkesenian. Namun sayang, dalam hal yang sifatnya kerja, orang Bali agak malas. Cara kerjanya terlalu santai dan terlalu banyak alasan untuk menunda pekerjaan. “Sering ujian di kampus tertunda karena teman-teman sering ngaret, kadang dosennya juga sama. Padahal kalau satu pekerjaan bisa diselesaikan dengan cepat khan bisa kita kerjakan yang lain,” katanya dengan sungguh-sungguh. Mungkin kondisi ini sangat kontradiktif dengan budaya negeri asalnya.
“Seni di Bali bisa jadi akan mengalami kemunduran. Kawan-kawan di sini belajar seni terlalu berorientasi pada uang, tidak mementingkan hakekat kesenian itu sendiri. Misalkan seni tari, ide dan kreativitasnya sangat kurang. Kawan-kawan saya yang sudah tamat banyak yang hanya menjadi ’buruh’ tari di hotel-hotel bahkan menjadi penari di klub malam. Saya malu melihatnya,” sambung penari muda yang mempunyai impian mendirikan dance company ini.
Ekspresi mukanya yang serius berubah total saat ditanya tentang pendamping hidupnya. “Saya pernah berpacaran dengan orang Bali dan orang Indonesia (Jawa). Justru dengan orang Jepang belum pernah. Yang jelas, saya sekarang sedang belum punya pacar…,” ujarnya malu-malu sambil mengeliatkan tubuhnya yang benar-benar “penari”.

Ayu Devie, Menyenangkan dan Bikin Penasaran…

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Seperti di rumah rasanya. Kehadirannya, gaya ngobrolnya, candanya, ya, semua itu menciptakan suasana bagi lawan bicaranya seolah-olah berada di rumah. Akrab, membetahkan, hangat, sekaligus kadang-kadang bikin geli. Soalnya, mahasiswi Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali ini masih suka ceplas-ceplos dengan ungkapan-ungkapan khas tradisional Bali yang kini makin jarang digunakan. Bahkan sebagian besar anak-anak muda Bali sekarang merasa malu ngobrol menggunakan beberapa istilah tradisional Bali, terutama aksen khas Jembrana, yang sudah dianggap ndeso. Tetapi Ayu, demikian sapaan akrabnya, justru mengaku lebih enjoy. “Biar banyak yang pernasaran karena tidak tahu artinya,” demikian dia nyantai.
Maka kalau boleh jujur, yang paling merasa betah saat ini tentulah para awak Ge-M Magazine. Betah di kantor maupun betah di saat hunting bila ditemani Ayu. Karena, bungan natah dari Mendoyo Dangin Tukad, Jembrana-Bali ini, memilih bergabung ke dalam keluarga kecil Ge-M Magazine dan Tabloid Independen News. Dan meskipun sebenarnya dia boleh duduk-dukuk manis saja di kantor lantaran jabatannya sebagai sekretaris redaksi, toh si penyuka warna pink ini setiap saat ikut kelayapan di lapangan untuk wawancara maupun berburu berita.
“Memang dulu tak pernah terbayang akan jadi begini. Tetapi dari dulu juga saya yakin dunia jurnalistik pasti menyenangkan,” ujarnya. Kok menyenangkan? “Soalnya ada tantangan tersendiri di dalamnya. Mau tak mau kita harus banyak belajar berbagai hal. Pokoknya dunia jurnalistik itu keren,” demikian pemilik nama lengkap Ni Putu Ayu Devie Hardyawati ini punya alasan.
Datang paling pagi ke kantor, setelah membantu menyapu karena teman-teman yang piket rata-rata suka kesiangan, Ayu langsung “sarapan” beberapa koran. Dia mesti membaca beberapa tajuk dan opini, baru kemudian membaca berita-berita. Setelah itu, dia pun masih harus menulis resume atas beberapa berita yang dianggapnya “penting”. Begitulah sebagian kecil kesibukan Ayu di kantor.
Di luar kantor, anak pertama dari pasangan I Ketut Suhardi Gelgel dengan Ida Ayu Putu Parwati ini, masih harus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang lumayan ketat. Tidak capek? “Tidak. Tetapi ngantuk,” jawabnya. Maka tidaklah aneh kalau di meja kerja si penggemar bakso ini selalu ada segelas kopi susu. Dia percaya sekali rasa kantuknya bisa diusir dengan segelas kopi panas. Ah, kayak nenek-nenek saja!
Omong-omong soal dunia jurnalistik, dara manis yang tidak pe-de memakai rok ini mengaku pernah bingung untuk mencoba memahaminya. Di benaknya yang masih lugu, dia mengaku sering bertanya-tanya, kenapa banyak orang yang takut terhadap pers. Kenapa juga banyak orang yang tidak suka pers. “Saya sering melihat di televisi, ada wartawan yang diusir bahkan dibunuh. Tetapi saya juga sering merasa heran, banyak juga media massa yang seolah-olah sengaja mengganggu bahkan memojokkan keberadaan orang-orang tertentu. Jadi, jujur saja, sampai sekarang saya masih bingung memahami dunia jurnalistik ini,” tuturnya di sela-sela liputan sebuah acara budaya belum lama ini.
Untuk menjawab kebingungannya itulah, Ayu mengaku sekarang harus lebih intens berinteraksi dengan dunia jurnalistik. “Inilah salah satu tantangan yang saya maksud. Dunia jurnalistik ternyata menyangkut perilaku yang kompleks. Ada orang yang pura-pura tidak suka pers, tetapi kalau sudah masuk TV paling semangat. Ya, saya harus banyak belajar dari orang-orang yang sudah senior dan dari kehidupan pers itu sendiri. Pokoknya bagi saya, dunia jurnalistik itu menyenangkan sekaligus bikin penasaran,” demikian dara yang lahir 15 Oktober 1987 ini menutup obrolan.

Putu Elmira, Hidup dengan Pedang, Belajar Hidup dari Panggung

Teks & Foto: Dadap

Elle, begitu sapaan akrab gadis cantik dan imut ini. Penampilannya sederhana. Tutur katanya santun dengan ekspresi wajah yang selalu ia mainkan mengiringi tiap kalimatnya. Canda-canda renyah ala anak SMA tetapi cerdas, selalu ia tambahkan pada setiap obrolan. Tidak perlu heran dia adalah seorang aktris teater yang berbakat. Sehingga tidak terlalu sulit baginya membuat orang untuk tetap betah mendengar bicaranya. Namun siapa sangka dibalik wajah manis nan mungil ini ternyata ia gadis yang sangat lihai memainkan pedang!
Ya, anggar adalah olah raga yang sejak SMP ia tekuni. “Awalnya cuma iseng nonton latihan di kompleks perumahannya akhirnya ditawari gabung, karena keasyikan aku jadi rajin ikut latihan.” aku siswi kelas 2 SMA 2 Denpasar ini. Akhirnya keseriusannya tersebut tidak sia-sia karena akhirnya ia menjadi atlet anggar satu-satunya Bali yang lolos ke PON XVII di Kalimantan Timur nanti. “Aku merasa sangat bangga bermain anggar, anggar itu cool jarang banget orang bisa memainkannya hehe..” canda atlet muda penyelamat eksistensi IKASI Bali di tingkat nasional ini.
Ketika ditanya mengapa anggar yang notabene adalah olah raga keras ia intimi, gadis yang bernama lengkap Putu Elmira ini, menjawab dengan bersemangat: “Walaupun anggar adalah olah raga keras, tapi sebenarnya otak lebih diandalkan disitu dan yang penting adalah ketelitian, bukankah biasanya perempuan lebih teliti dibanding laki-laki yang biasanya sembrono he…he…” candanya dengan suara yang serak basah membuat semakin betah saja menemaninya mengobrol. “Lihat bekas goresan di lengan kananku ini” sambil menyingsingkan t-shirt dengan warna charcoal favoritnya. “Ini adalah bekas tusukan lawan di Pra PON kemarin, aku tidak menyerah dan akhirnya aku menang!” tuturnya berapi-api.
Sementara dunia teater juga sangat serius ditekuninya. “Sejak SD aku sudah suka membaca puisi dan akhirnya serius mendalami akting sejak bergabung Teater Topeng di sekolah.” tutur dara yang tanggal 10 ini merayakan sweet seventeen-nya. Keseriusan mendalami akting dibuktikan dengan berhasilnya blasteran Padang – Tegallalang (Bali) ini lolos casting yang dilakukan Rudy Sudjarwo untuk film layar lebarnya nanti. Bulan kemarin Elle juga telah menjadi bintang utama film produksi sebuah LSM yang disutradarai oleh sutradara Australia.
“Aku hidup dengan pedang namun belajar hidup dari panggung,” ujarnya filosofis. ”Anggar mengingatkanku bahwa perlu kehati-hatian dan harus selalu sigap dalam hidup sementara teater mengajariku hidup sederhana dan senantiasa harus bekerja sama serta memperhatikan orang sekitar,” demikian Elle, yang suatu saat nanti ingin jadi public relation.
Di samping anggar dan teater, ternyata Elle masih memiliki seabrek kegiatan lainnya. Penggemar perkedel jagung masakan mamanya ini tergabung dalam cheerleader di sekolahnya dan memiliki sebuah grup band di kelasnya. “Kadang hari aku kayak orang gila bernyanyi-nyayi di kamar mandi sambil menari-nari hehe..,” guyonnya dengan suara yang memang terkesan seksi.
Sedemikian padat kegiatannya, namum keluarganya sangat mendukung. “Pada awalnya memang mama sering mempertanyakan mengapa aku selalu jarang di rumah dan pulang malam tapi akhirnya setelah aku menunjukkan prestasiku akhirnya mamaku mendukung bahkan mama sering mengompori aku untuk ikut salah satu lomba atau audisi yang kira-kira aku mampu. Sering juga mama kelihatan lebih bersemangat daripada aku. Yang penting sekolah tidak terganggu. Jadi semuanya harus berjalan dengan balance.” kata penggemar buah manggis dan durian ini, sesekali lesung pipit muncul di pipinya membuat wajah manisnya semakin terlihat manis saja.
“Memang akhirnya aku dituntut untuk sangat teliti mengatur waktu tetapi bagiku itu tidak sulit karena aku terdidik mandiri, aku lebih sering hanya bersama mama karena sejak kecil papaku sudah bekerja di luar negeri, mama sering menyemangati walaupun aku perempuan untuk selalu tangguh dalam hidup.” tuturnya membuat haru.
“Aku sangat sedih melihat semakin banyak saja remaja perempuan sekarang terlihat sangat agresif pada hal yang negatif dan terkesan tidak tahu malu. Padahal sekarang saatnya perempuan Indonesia bangkit karena sudah makin banyaknya kesempatan untuk menunjukkan diri bahkan menjadi pemimpin. Jangan hamburkan waktu yang takkan pernah kembali dengan sesuatu yang tak berguna. Lakukan sesuatu yang bisa membuat orang lain bahagia dan kamu juga merasakannya.” pesannya lugas yang menunjukkan dirinya adalah sosok perempuan muda yang cerdas.

Enny, Merindukan Masa Kecil...

Teks: Wendra Wijaya

Foto: DS. Putra

Tumbuh sebagai gadis remaja yang cantik dan cerdas, namun Enny masih merindukan masa kanak-kanak. Dua bagian hidup yang tak dapat dipertentangkan, memang. Sebuah fase yang memberi arti dan kenangan yang berbeda pula. Tapi bagi gadis remaja ini, masa kanak-kanak tetap menjadi satu bagian yang mendasari langkahnya dalam menapaki kehidupan. “Kesenangan dan ketenangan hidup selalu saya dapatkan di masa kecil. Di sana ada cinta, kedamaian, keriangan, dan kejujuran. Ini juga yang selalu membawa kerinduan saya pada masa-masa itu. Kalau bisa saya ingin kembali ke masa itu, sekali saja,” kata Enny mengawali perbincangan kami.

Cukup banyak yang mengenal sosok Enny. Maklum saja, penyuka warna merah jambu ini termasuk salah satu presenter di Jimbarwana TV —sebuah stasiun televisi lokal milik Pemkab Jembrana. Mungkin banyak juga yang menduga, ketegasan raut mukanya menggambarkan keteguhan hatinya sehingga menimbulkan kesan jutek atau….
“Bukannya gitu, saya cuma gak tahu cara memulainya saja. Mungkin banyak orang berpikiran saya jutek dan sombong, ditambah lagi bapak bekerja sebagai salah satu anggota DPRD Jembrana. Tapi jujur saja, sebenarnya saya malu kalau baru bertemu seseorang. Kalau bisa, sapalah saya duluan dan semuanya akan beda,” potong gadis belia berusia 18 tahun ini. Dan benar saja, obrolan kami tiba-tiba hangat. Canda, tawa, keriangan dan sifat familiar yang ditunjukkan pemilik nama lengkap Ni Putu Enny Putu Suardi ini seketika merubah image-nya sebagai “perempuan kaku” yang melekat dalam dirinya. Setidaknya itu pandangan saya.
Mengaku mengagumi Ira Kusno, Enny bergabung dan mengasah kemampuannya yang selama ini tersembunyi dibalik kejenakaannya di Santi Sastra Production. Kecintaannya pada dunia sastra pun turut memberi andil dalam proses kreatifnya. “Walaupun tidak langsung, saya menempatkannya (Ira Kusno-pen) sebagai guru. Membayangkan diri menjadi Ira Kusno, saya mulai belajar berbicara di depan cermin dengan menonjolkan olah vokal dan ekspresi. Kedewasaan dan kecerdasan Ira Kusno sudah menjadi acuan untuk mengikuti jejaknya, walau saya sadar itu sangat sulit dicapai. Semuanya butuh proses dan waktu yang panjang,” ucap putri pertama pasangan I Ketut Suardi dan Ni Made Wartini ini.
Kesibukannya menjadi presenter ternyata tak membuat Enny melupakan pendidikan formalnya. Gadis kelahiran 2 Oktober 1989 ini juga tercatat sebagai salah satu mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Dan ternyata, ketulusan, keikhalasan dan kepolosan anak-anak kembali mendasarinya untuk mencapai cita-citanya itu
“Sebenarnya presenter dan dokter hampir tidak ada bedanya. Semuanya harus memiliki dasar kuat untuk menjadi profesional. Dan disinilah sastra mengambil tempat dan berperan penuh. Keahlian atau seni komunikasi mutlak menjadi kunci keberhasilannya. Bagi saya, kerja itu adalah puisi. Dan anak-anak merupakan perwujudan puisi yang paling hakiki. Inilah yang selalu saya tanamkan dalam diri saya,” kata gadis gemini yang mengaku menyukai anjing pudel ini lepas dan bijaksana.
Di tengah keriangan hidupnya, remaja yang mengaku sangat dekat dengan orang tuanya ini selalu mencari pendewasaan dirinya melalui buku-buku bacaan. Apapun itu! Kedua matanya seakan selalu haus dengan ilmu apapun yang didapatkannya dari membaca. “Minimal lima jam dalam sehari, saya harus menyempatkan diri membaca buku. Tak peduli apa jenis bacaannya, yang penting hobi saya tersalurkan. Tapi tetap saja yang paling asyik itu, bercanda dengan anak kecil dan bertingkah menjadi mereka, hahaha….,” tawanya lepas mengiringi senja itu.
Masa kanak-kanak memang senantiasa menjanjikan kesenangan dan ketenangan. Mungkin inilah yang selalu membawa kerinduan bagi Enny untuk kembali ke masa itu. Dan mungkin juga, rasa cinta, kejujuran, dan kepolosan anak-anak ini yang ingin diberikannya kepada semua orang yang berada di sekitarnya. Ah, Enny……

Mang Dian, Kucari Kunang-Kunang yang Tak Ketemu

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Dia pernah bercerita bahwa cowok yang pintar bermain musik punya peluang besar untuk memikat hatinya. Sekarang, dia telah meninggalkan cerita itu. Bukan karena dia tak suka lagi dengan cowok atau musik, tetapi sekarang ada yang lebih membuatnya penasaran. “Kunang-kunang! Saya jatuh hati pada kunang-kunang. Saya takjub, kenapa Tuhan menciptakan mahluk mungil dan lucu itu. Kunang-kunang yang menghiasi malam, apakah maknanya bagi kehidupan?” Tanyanya kepada entah siapa.

Begitulah dara yang sebentar lagi akan meninggalkan bangku SMA ini. Banyak bicaranya, banyak senyum dan banyak tertawanya. “Entahlah, saya kok sudah cerewet sejak baru mekeplos dari rahim ibu. Habis, memang banyak hal yang dapat kita bicarakan atau ceritakan dengan teman-teman. Kehidupan ini begitu indah dan penuh warna. Maka, mari kita ceritakan keindahan dunia kepada siapa saja. Gak usah ngomongin perang yang terus berkecamuk di belahan dunia sana, atau gak usah bergunjing politik yang gak bisa dimengerti. Mari kita bicara soal kunang-kunang saja hehehe…,” lepas rawanya.

Ni Nyoman Dian Oktarini, demikian nama yang tercantum dalam buku rapor sekolahnya. Libra kelahiran 1989 ini, menapaki dunia modeling Bali berawal dari kontes modeling lokal Jembrana. Ceritanya cukup unik juga. Saat itu, yang menjadi model sebenarnya adalah kakaknya. Tetapi pada sebuah event, sang kakak mendadak sakit. Mang Dian dipaksa untuk ikut kontes mewakili kakaknya. Maka latihan pun dilakukan dalam waktu yang serba terbatas. Yang penting bisa melangkah di atas catwalk saja dulu, urusan lainnya bisa menyusul kemudian.

Tetapi hari itu ternyata tidak sekedar menjadi hari biasa. Kehadiran dan penampilan Mang Dian langsung menarik perhatian komunitas modeling Bali. Selanjutnya, posturnya yang semampai dan keluwesannya melenggang di atas catwalk, mengantarnya untuk meraih sederet predikat terbaik dalam berbagai kontes modeling.

“Saya ingin profesional,” ujarnya lagi. Lalu penyandang predikat The Best Catwalk, Juara I IFA Model Contest, Juara I AW Entertainment Bali 2006 ini memaparkan kiatnya untuk bisa tampil terbaik. “Harus serius. Apapun harus dilakoni dengan serius agar mencapai hasil yang memuaskan. Dan apapun jika dijalani dengan serius akan mampu mengantarkan kita pada profesionalisme,” demikian mantan Putri Hardy’s 2006 ini.

Tapi saat ini Mang Dian mengaku tengah mengurangi kegiatan modeling yang telah memberinya tambahan uang saku. “Saya bersiap untuk ujian sekolah dan ujian nasional. Sejujurnya, saya sangat tegang menghadapi ujian nasional nanti. Standar kelulusannya makin naik terus,” ujarnya.

Kembali ke soal kunang-kunang, penggemar bakso den es buah yang punya cita-cita kuliah pada jurusan hukum ini mengaku tertarik kunang-kunang bukan tanpa alasan. Di samping karena memang indah dan penuh misteri, kunang-kunang menurutnya bisa dibaca sebagai pertanda alam. “Kata orang-orang tua, dulu kita sangat mudah menemukan kunang-kunang. Tetapi sekarang sangat sulit. Saya sering berkeliling ingin melihat kunang-kunang, tapi sangat jarang bisa menemukannya. Kunang-kunang sekarang sangat langka. Ini adalah pertanda bahwa alam lingkungan hidup kita memang sudah tidak alamiah lagi. Sudah begitu banyak mahluk hidup yang kehilangan habitatnya karena dirusak oleh manusia dengan alasan pembangunan dan kemajuan teknologi,” katanya berapi-api.

“Saya kuatir, generasi di bawah kita nanti malah tak tahu sama sekali serangga yang bernama kunang-kunang itu karena tak pernah lagi melihatnya. Sekarang yang bertambah banyak justru lalat. Dan ini pertanda bahwa lingkungan kita semakin jorok dan kotor. Dan itu berarti pula hidup kita semakin terancam oleh ulah kita sendiri yang tidak bisa memelihara kelestarian lingkungan. Ini harus dikampanyekan agar semua orang segera menyadarinya,” demikian penggemar jaja sagon ini makin bersemangat.

Pipiet, Tidak Takut Kulitnya Hitam

Teks & Foto: Nanoq da Kansas
Lahir di dekat pantai, tetapi lebih menyukai gunung. Dua kekuatan alam itu sangat berpengaruh pada dirinya. Bola umpan dari temannya pun dihempas dengan pukulan smash sepenuh tenaga menembus daerah lawan. Ada yang masuk dan menjadi point, tetapi ada juga yang terblokir dan sia-sia. Saat itu, hanya dua kemungkinan yang menunggunya. Menang atau kalah. Keduanya bukan pilihan, tetapi keduanya adalah resiko. Toh ini hanya sebuah permainan yang pasti akan berakhir dengan cepat. Sementara kehidupan menanti dengan permainan-permainan lain yang jauh lebih rumit, jauh lebih tak terduga dengan resiko yang juga tak bisa dipilih. “Saya ingin membuat bangga Ibu dan orang-orang yang telah mendukung saya,” demikian motivasi yang selalu ia tumbuhkan dalam dirinya.

Sungguh, Pipiet masih sangat belia. Tetapi Pipiet yang bernama lengkap Fitri Hardiyanti Anwar, sudah tercatat sebagai pemain inti Provinsi Bali untuk cabang olah raga Bola Voly. “Saya mulai dimasukkan sebagai atlit PBVSI Bali sejak kelas tiga SMP. Saat itu langsung ikut mewakili Bali ke Surabaya. Lalu mewakili Bali dalam Kapolri Cup I dan kami mendapat peringkat III. Tahun 2006 ini ikut lagi dalam Kapolri Cup II di Madiun, sayangnya kami kalah,” ceritanya dengan nada polos khas remaja.

Menekuni tari bali sejak di sekolah dasar hingga tamat SMP, Penari Oleg Tambulilingan ini pun lebih menyukai gunung daripada laut dan lebih menyukai senja hari ketimbang pagi. Di hati Pipiet, gunung adalah sebuah kekuatan sekaligus keanggunan, sedangkan senja adalah keindahan yang penuh misteri. “Senja lebih mengerti perasaan kita karena saat itu sang waktu terasa lebih ramah. Sedangkan pagi hari semuanya terlihat begitu sibuk, terburu-buru, dikejar waktu, dan... saya masih ngantuk,” candanya dengan senyum yang memesona.

Di dalam kelas, Pipiet mengaku paling suka pelajaran Bahasa Indonesia karena baginya Bahasa Indonesia itu unik. Pipiet selalu merasa lambat untuk memahami angka-angka. “Nanti saya akan memilih jurusan sosial saja,” kata alumni SMP Negeri 4 Melaya ini dengan tegas. Soal makanan, Pipiet paling suka nasi goreng sea food. Kalau disuruh memilih warna-warna, ABG yang tak takut kulitnya hitam ini akan memilih warna hitam, putih dan biru. “Saya merasa warna-warna itu bisa membuat hati tenteram,” ujarnya datar. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, sejak kelas tiga sekolah dasar Pipiet sudah tidak bisa lagi merasakan kehangatan kasih seorang ayah. “Ayah saya meninggal ketika saya masih kelas tiga sekolah dasar. Jadi, pada ibulah saya menemukan semuanya,” matanya menerawang mungkin membayangkan Sang Ibu yang jauh.

Ya, Pipiet sejak mulai masuk SMA tinggal cukup berjauhan dengan ibu dan adiknya. Sang Ibu masih di Gilimanuk, Pipiet bersama Mbah di Negara. Rasa kangen selalu ada, tetapi baginya yang lebih penting dari kangen adalah pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Lagipula saya sudah cukup terbiasa jauh dari rumah. Saat-saat pemusatan latihan di Denpasar, saya bisa seminggu atau lebih di wisma atlit,” tuturnya pula.

Sebagai atlit perempuan, cantik dan masih remaja, Pipiet dengan lugu bisa bercerita tentang romantika di tempat latihan atau lokasi pertandingan. Tentu tidak sedikit yang suka menggoda-goda, atau bahkan ada cinta lokasi. Tetapi Pipet bisa menyikapinya dengan sikap dewasa. “Saya masih remaja. Saya menyikapi hal-hal seperti itu sebagai bagian dari persahabatan saja. Kalau ada yang keterlaluan, ya saya cuekin. Lagian kan hanya kenal di situ saja,” demikian si penyayang kelinci ini memaparkan kiatnya menghadapi godaan. Ditanya perasaannya pada setiap menghadapi pertandingan, dia mengaku masih suka degdegan, grogi dan cemas. “Apalagi kalu melihat lawan-lawan yang sudah senior, saya awal-awalnya masih grogi. Tetapi perasaan itu dengan cepat hilang kalau pertandingan sudah berlangsung.”

Banyak temannya yang menganggap Pipiet tomboi. Mungkin karena penampilannya yang selalu simpel dan tidak terlalu urusan dengan mode. Tetapi toh dia mengaku bisa cukup lama kalau mandi. Sementara waktu senggangnya bersama Mbah, dia gunakan untuk membaca atau nonton film. “Saya menyukai film drama, tetapi yang tidak cengeng. Saya juga suka menggambar dan kadang-kadang menyanyi dangdut di kamar hehehe...,” tawanya lepas di sore itu.

Diah, Layang-layang, Cintailah...

Teks: Wendra Wijaya

Layang-layang itu senantiasa bergerak mengikuti angin senja. Melenggok dan berputar dengan anggunnya di atas kepala kami sore itu. Sementara dari tatap bening gadis Scorpio itu, ada pancaran keikhlasan tetapi sekaligus penuh semangat memandang langit yang mendung. Rasa cinta dalam persahabatannya dengan semesta, rupanya telah menempanya hingga tumbuh sebagai sosok remaja yang sederhana.

“Alam telah banyak memberi inspirasi pada saya. Bagi saya yang terindah itu adalah, bagaimana kita dapat menjadi bagian dari alam. Setidaknya, bisa memberi sedikit warna saja dalam kehidupan ini,” demikian Diah, di suatu senja. Sederhana, tapi sebuah pengakuan yang mengandung sebuah kekuatan nan penuh misteri. “Tapi bagi saya, main layangan tetap yang paling asyik haha....,” pemilik nama lengkap Ni Putu Diah Prasinthya Oktarini Dewi ini tertawa lepas.

Areal pesawahan yang tak begitu jauh dari rumahnya di selalu menjadi tempat favorit bagi gadis yang akan memasuki usia yang ke-18 pada 30 Oktober mendatang. Meski memiliki kulit putih mulus seperti yang diidam-idamkan gadis sebayanya, Diah yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di SMAN 1 Negara tak menganggapnya sebagai kelebihan. Baginya, alam telah memberikan yang terbaik bagi siapa saja, tak membedakan warna kulit atau warna rambut. Ya, selalu alam.

Mengaku gemar memasak, Diah tiba-tiba begitu bersemangat mengatakan bahwa hasil masakannya selalu enak. “Pasti lezat. Buktinya, bapak selalu nambah makan kalau saya yang masak,” ujarnya.

Toh dalam pengalamannya, Diah tak selalu mengalami yang baik dan indah-indah saja. Banyak juga rintangan dan pengalaman pahit yang pernah ditemuinya. “Kenapa harus sedih? Bukankah lebih baik menerima apa yang sudah ditetapkan menjadi bagian hidup kita? Alam dan kehidupan sudah sangat bijak memberi apa yang pantas kita terima. Jadi, tugas kita sebagai remaja dan sebagai manusia pada umumnya adalah, selalu berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari. Jangan pernah putus asa. Cintailah diri sendiri, cintailah orang lain, cintailah kehidupan ini,” kata-katanya mengalir seperti air sungai di antara jajaran pohon cemara.

Cara menjalani hidup dengan sederhana inilah yang kemudian mampu membawa mantan Putri Hardy’s dan Jegeg Bali 2006 ini meraih segudang prestasi. “Jujur saja, setiap kali lomba saya berusaha melepas beban yang mengganjal sampai hati ini benar-benar ikhlas dan damai untuk mengikuti kegiatan,” kata remaja yang hobi memasak dan menari ini.

Obrolan kami sore itu diiringi rintik kecil hujan bulan Juni. Angin nakal yang datang membawa tempias, terabaikan dengan berbagai cerita Diah yang tak putus-putus. Beberapa teman pelukis yang kebetulan datang pun ikut nimbrung dan mendengarkan berbagai kisah yang meluncur dari bibir Diah. Luar biasa daya pikat darinya. Bukan karena kecantikannya, tapi pemahaman-pemahaman tentang kehidupanlah yang membuat dara pemilik suara merdu ini selalu didekati teman-temannya.

Ya, kendati memiliki wajah cantik, toh gadis penyandang beberapa gelar juara fotogenic ini mengaku tak muluk-muluk dalam memilih pacar. Cukup dengan berpenampilan rapi, wangi, tinggi dan setia, seorang pria dapat menarik perhatiannya. Kalau ingin menarik hatinya, seorang pria harus bisa menghargai wanita. “Seorang pria tak boleh seenaknya main sentuh wanita. Memegang tangan saja ada aturannya kok. Jangan asal selonong,” cetusnya Tapi Diah akhirnya juga mengaku bahwa mungkin karena sifatnya yang tergolong “agak kolot” dalam urusan cinta, maka cowok tak betah lama-lama bersamanya. “Tapi gak apa, saya akan tetap teguh untuk menempatkan batas-batas kewajaran di atas hubungan yang saya jalin dengan cowok. Saya yakin nanti juga ketemu yang tepat. Biar dibilang primitif, yang penting itu tidak menghancurkan,” ucapnya sambil menatap hamparan sawah yang tepat berada di depan kami.

Layang-layang itu kemudian kembali berputar, melenggok, bahkan menukik turun. Kami sama-sama menengadah menikmati dan menghayati makna yang tersirat dari sebuah layang-layang. Kemudian ia tersenyum, entah untuk siapa. Mungkin untuk layang-layang yang telah mengajarkannya tentang cinta, keikhlasan, persahabatannya dengan semesta.

Gek Riris, Gerimis Temani Sepiku...

Teks: Wendra & Nanoq da Kansas

Foto: De'a Yogantara
Rintik gerimis yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan, menciptakan semburat pelangi di sore itu. Keheningan pun menciptakan rasa tenteram pada pertemuan kami. “Berteduhlah, sekalipun di luar hanya gerimis,” ucap dara itu. Lalu kami masuk lebih jauh di salah satu ruang Puri Singaraja, Buleleng, kediaman mahasiswi Undiksha itu. Nuansa religius begitu kental menyapa. Dan berbagai benda antik yang ditata sedemikian rupa, semakin mengristalkan aroma spriritul khas sebuah puri.

Kendati tubuh indahnya dibalut kebaya bergaya khas remaja, senja itu Gek Riris toh belum sepenuhnya dapat menghapus gurat duka di wajahnya. Kepergian Ayahandanya menghadap Sang Khalik beberapa waktu lalu sangat memukul perasaannya. “Tapi ya, beginilah konsekuensi kehidupan. Manusia lahir, tumbuh dan diakhiri dengan kematian. Meski sedih, semuanya harus tetap berjalan. Bukankah kehidupan tidak boleh terhenti oleh proses kematian seseorang? Memang terasa sulit, tetapi kehidupan harus tetap berjalan. Belakangan ini, gerimis adalah teman kesedihan saya,” begitu puitisnya dara pemilik nama lengkap Anak Agung Ayu Rahadiani Cwari ini.

Dan gerimis pun memang menjadi teman dalam percakapan kami. Setidaknya, semburat pelangi yang membuat anggun cuaca sore itu, cukup menghibur hati. Sementara itu, bagi dara berusia 19 tahun yang lahir di Denpasar, 26 Juni ini, daya tangkapnya atas fenomena kehidupan yang kemudian dipahaminya dengan sederhana, telah mampu dijadikannya pemicu untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kampung halamannya, Singaraja. Predikat “Jegeg Bali 2007” pun berhasil diboyongnya. “Kita tidak boleh asal-asalan ketika akan memulai sesuatu. Saya ingin dalam mengerjakan sesuatu harus benar-benar total dan tuntas. Tidak boleh setengah-setengah. Dan itu tentu membutuhkan keikhlasan. Kecerdasan itu tidak hanya dibangun dengan penjejalan ilmu-ilmu praktis, tapi juga harus dibangun dari wilayah spiritual dan pengendalian emosi,” ujar Riris seolah kepada dirinya sendiri.

Penyuka warna merah, hitam dan pink yang juga penghobi berbagai buku bacaan ini, memiliki minat yang begitu besar pada budaya dan bahasa Jepang. “Saya memilih jurusan Bahasa Jepang. Gadbatte kudasai, selamat sukses, hahaaaa…. Sekarang tidak banyak yang mempelajari budaya Jepang. Bagi saya, banyak pelajaran yang dapat diambil dan ditiru dari budaya Jepang, terutama kedisiplinan masyarakatnya. Kalau dibandingkan Jepang, negara kita tidak ada apa-apanya. Nah, mengapa kita tidak mencoba belajar dan menerapkan sisi-sisi positif dari budaya Jepang itu? Saya rasa itu akan bisa membawa perubahan yang lebih baik. Seperti yang saya dengar, untuk daerah di Bali mungkin baru Jembrana yang sedang mengadopsi dan menerapkan beberapa sisi positif budaya masyarakat Jepang,” lanjut pemilik kulit sawo matang ini.

Iya, Jembrana memang menjadi daerah yang sangat dikagumi pemilik tinggi badan 162,5 centimeter dan berat 50 kilogram ini. Kiprah anak-anak muda Jembrana dalam kesenian, menjadi makna dan nilai tersendiri di hati Riris. “Meski belum pernah datang ke Jembrana, saya telah banyak mendengar keberhasilan dan kemajuan Jembrana di bawah kepemimpinan Bupati Winasa. Keren banget! Jembrana yang dulunya hanya kabupaten kecil di Bali, kini sudah menjadi primadona di tingkat nasional bahkan internasional. Pergaulan kreatif pemuda Jembrana juga semakin membuat saya tertarik datang ke sana. Dari sisi seni budaya, karya-karya anak muda Jembrana semisal puisi dan musik, tentulah hasil dari pergaulan kreatif mereka dengan wawasan yang lebih luas serta tidak terlepas dari kerjasama dengan generasi yang lebih tua. Artinya, saya melihat generasi muda Jembrana adalah generasi yang berjiwa terbuka dan mau belajar keras,” demikian apresiasinya.

Segudang prestasi ditambah kharisma yang dimilikinya, tidak membuat anak kedua dari pasangan AA. Ngurah Dirgha (almarhum) dengan Sumarni Astuti ini berperilaku sebagai sosok yang merasa “lebih”. Kesederhanaan yang terpancar dari tutur kata dan perilakunya itu, juga menjadi anutannya dalam menentukan sosok pria idaman. “Lelaki yang mendapat tempat di hati saya adalah sosok yang bisa memberi kasih sayang yang tulus tanpa banyak menuntut. Sebenarnya dalam melakukan beberapa hal, saya banyak meminta saran teman,” Mereka juga yang telah menjadi sumber inspirasi dan motivator saya untuk melakukan segala sesuatu yang positif,” demikian gadis pengagum film Black Hawk Down inI.

Gerimis tiba-tiba berhenti. Mentari perlahan muncul dengan semburat yang cerah. Gek Riris termangu, entah memikirkan apa. Mungkinkah keindahan mentari selepas hujan telah memberinya harapan-harapan baru? Kemudian senyum manis tersungging di bibirnya. Entah untuk siapa. Mungkinkah untuk gerimis yang senantiasa setia menjadi teman sepinya? Entah!

Putri, Penampilan Bisa Menipu

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Kalau tidak salah, lebih dari tiga kali kami membuat janji bertemu. Setiap janji dengannya selalu saja harus dikoreksi. Janji pertama dijadwal ulang karena Putri –demikian dia akrab disapa, mendadak sakit. Biasalah, flu dan pilek selalu gampang menghampiri orang-orang yang lebih suka di luar rumah. Di samping kerena setiap hari naik motor dari rumah ke sekolahnya yang lumayan jauh, saban sore dara manis kelahiran 14 januari 1990 ini harus mondar-mandir ke studio Jimbarwana TV. Maklum, dia adalah salah satu presenter televisi milik masyarakat Jembrana tersebut.

Janji kedua dijadwal ulang melalui SMS. Siswi kelas II IPS-1 SMA Negeri 1 Negara ini tidak bisa keluar rumah karena keesokan harinya akan ada ulangan. “Maaf, bli. Menjadi murid saat ini tidak terlalu nyaman. Belajar harus ngebut seperti mesin. Kalau tidak, ancamannya kita tidak lulus ujian nasional. Kan gawat? Padahal saya bercita-cita kuliah di Fakultas Hukum. Kalau bisa, saya ingin kuliah di Gajah Mada, Jogyakarta,” begitu dia bercerita di kemudian hari pada pertemuan kami.

Soal dunia pendidikan, Putri adalah remaja kesekian yang berani mengemukakan pikiran kritisnya. “Saya setuju banget kalau ada yang mengatakan bahwa sekolah kita saat ini telah berubah hanya menjadi tempat kursus untuk menghadapi ujian nasional. Hubungan antara para guru dan murid-murid nyaris tidak ada ikatan emosional. Para guru dikejar target jam mengajar dan kurikulum, murid-murid diliputi ketegangan atas ancaman tidak lulus ujian nasional. Jadi, masing-masing sibuk dengan target sendiri. Mana sekarang ada guru yang sempat menanyakan kabar muridnya, atau memperhatikan kondisi bhatin muridnya. Pokoknya semua berpacu. Di luar jam sekolah, murid-murid berlomba kursus atau les. Ah, murid-murid sekarang sungguh menjadi kelinci percobaan kurikulum yang setiap saat bisa berubah. Tapi para bapak-bapak di atas sana kok seolah-olah tak mau tahu ya?” Keluhnya pada suatu senja sambil melakukan beberapa adegan pemotretan.

Banyak yang menduga, penari Bali dengan sederet prestasi di tingkat kabupaten maupun provinsi ini akan cerewet menilai penampilan cowok. Tidak sama sekali. Si penyayang kelinci tetapi takut kucing ini punya konsep sederhana tentang cowok idaman, yakni cukup baik hati dan sedikit cerdas. Masalah tampang dan penampilan adalah nomor buncit. “Jangan meyakini cowok hanya dari penampilan dan wajahnya yang terlihat cakep. Itu bisa menipu. Cowok yang pantas diidolakan adalah mereka yang berhati baik, cerdas, mengerti perasaan perempuan, dan nyambung kalau diajak ngobrol,” ujarnya serius sambil menambahkan bahwa dirinya tergila-gila dengan cowok pembalap.

Bernama lengkap Ni Komang Putri Sasmita Swandewi, penyuka warna pink dan nuansa-nuansa kecoklatan ini, kini mulai mencoba merambah dunia akting. Dia mengaku ingin serius belajar akting di depan kamera. “Tetapi di sini saya belum ketemu orang yang bisa membimbing saya belajar hal itu secara serius. Padahal setelah kita punya media televisi sekarang ini, seharusnya ada yang mengambil bidang bimbingan akting atau drama secara serius. Ke depan, saya kira dunia akting semakin menjanjikan setidaknya sebagai media ekspresi bagi para remaja. Bahkan bisa menjadi peluang kerja,” ujarnya pula.

Oh iya, janji pertemuan kami harus dijadwal lagi untuk ketiga kalinya gara-gara hujan deras. Padahal ketika kami akhirnya bertemu, hujan toh turun juga. Jalanan senja itu tergenang air. Tetapi apalah artinya gerimis jika senja kemudian menjadi lebih hangat oleh tawa lepas Putri yang senja itu datang berbalut jeans ketat dipadu sweter pink yang memperlihatkan bahu indahnya. "Cuaca tak menentu saat ini. Inilah akibat buruk dari perusakan alam, dan kita hanya bisa mengeluh," desahnya. Ya, Putri benar. Soal alam, kita memang hanya bisa mengeluh. Mak teruslah menari, Putri. Setidaknya alam akan sedikit terhibur oleh kerling matamu yang tajam itu.

Senyum dan Sepi di Bibir Risti

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Dunia, ya, sudut dunia manakah yang bisa percaya bahwa seorang perempuan menangis bukan karena manja, tetapi karena memang dunia itu sendiri yang butuh ditangisi? Dan begitulah Risti, remaja yang tengah berupaya menandai salah satu sudut dunia bernama modeling itu dengan eksistensinya. Risti sesekali butuh menangis, butuh masuk ke ruang paling pribadinya, menggumam sendiri: “Dunia, engkau sepi sekaligus sungguh keras!”

Tetapi apa sih sejatinya yang masih perlu diperjuangkan seorang Risti? Cantik, sudah. Dikenal banyak orang, sudah. Dia pun bisa membeli celana jeans yang tidak pasaran dengan merek yang bahkan hanya beberapa gelintir temannya saja yang tahu, kemana-mana menggenggam handphone berseri 910i. Apa sih yang masih dicari seorang Risti? “Setiap orang harus menemukan dunianya sendiri. Menemukan rumah bagi badan dan jiwanya sendiri. Dan itulah yang tersulit bagi saya. Saya menangis untuk bagian kehidupan yang saya rindukan, yang menjadi cita-cita, tetapi begitu kerasnya jalan untuk menemukannya,” ujarnya di senja itu.

Di senja yang cerah itu, mendekap tas remaja bermerek gosh, Desak Putu Oka Risti Mayasari bercerita tentang warna putih kesukaannya. Bercerita tentang kucing, anjing dan hamster yang baginya sungguh menggemaskan. “Sungguh, dunia modeling terlihat glamour hanya dari luar. Di dalamnya hanyalah kehidupan yang biasa. Dunia yang manusiawi. Melelahkan, bahkan terkadang tak ada kompromi. Saat badan lelah atau sakit kepala pun kita dituntut harus tersenyum di atas catwalk atau di tengah orang banyak. Ada persaingan, ada waktu yang terkadang tak mengenal toleransi. Semua itu sungguh melelahkan. Tetapi saya ingin profesional di sana,” tutur siswi kelas III IPA SMA Negeri 1 Negara ini.

Mengaku hanya bisa curhat ke mama bila sedang mendapat masalah, Risti tumbuh menjadi ABG yang mau tak mau mesti mandiri. “Karena tak ada yang membantu, saya sering kelimpungan untuk mengurus diri sendiri. Pernah saya mewakili kabupaten di sebuah event, semua saya urus sendiri. Konyolnya, sampai uang saku pun saya keluarkan dari kantong sendiri,” ujarnya setengah menggumam. Cita-citanya untuk mengikuti sebuah event di India juga dengan pahit dihapusnya. Karena Risti tak tahu harus cari sponsor ke mana. “Pernah terlintas mau minta bantuan ke pemda, tapi saya malu bertanya pada siapa,” lanjutnya.

Ketika dunia modeling Bali ikut-ikutan terhanyut eforia jargon “Ajeg Bali”, Risti sempat bimbang. Dalam benak remajanya dia bertanya, kenapa sesuatu yang semestinya bisa berjalan apa adanya mesti direcoki oleh urusan-urusan yang dipaksakan dan dibesar-besarkan? “Ajeg Bali dalam konteks tertentu membuat perasaan sukeh-sukeh ben (serba salah-red),” ujarnya serius. Bagi Risti, persoalan kehidupan sosial suatu masyarakat, termasuk Bali, tidaklah bisa diatur dengan berlebihan. “Kehidupan kan dinamis. Melaju ke depan dengan romantikanya sendiri. Cara orang berpakaian, cara bicara, cara memandang sesuatu bahkan cara hidup, semua itu bergerak untuk menemukan jamannya sendiri-sendiri. Yang harus dipertahankan adalah nilainya, spiritnya, bukan pisiknya. Tapi pemikiran orang-orang tua cenderung memaksakan kehendak untuk memasung kehidupan sosial yang dinamis itu. Ini justru akan merugikan diri kita sendiri. Tapi, ya, gimana lagi? Dalam situasi tertentu kita tidak bisa minta kompromi, tetapi harus mengalah. Saya sering berada dalam sitausi mengalah itu,” lanjutnya lagi.

Seks dan pergaulan bebas di kalangan remaja adalah wacana sekaligus fenomena yang tak pernah redup. Risti pun mengakui hal itu. Menurutnya, seketat apapun aturan yang ada, baik di tingkat keluarga maupun lingkungan secara umum, pada akhirnya tak bisa mengendalikan sepenuhnya gaya hidup para remaja secara individu. "Soalnya peluang dan kontrolnya ada dan melekat di masing-masing pribadi remaja itu sendiri. Saya tidak suka seks bebas maupun pergaulan bebas. Tetapi saya hanya ingin mengingatkan teman-teman, berbahagialah dengan cinta dan pacar, tetapi tetap ingat pada rambu-rambu yang normal. Dan terutama sekali, kebebasan bergaul yang menjadi trend saat ini, harus diimbangi dengan prestasi positif," ujar penggemar buah juwet ini dengan sepenuh hati.

Elvita Rani, Agar Tidak Kosong

Teks: Wendra Wijaya

Foto: Nanoq da Kansas
Dara remaja ini punya 11 ekor kucing di rumahnya. Sebagian besar jenis Angora. Kenapa? Karena sifat kucing penuh misteri, tetapi penampilannya anggun, terkadang manja bahkan sedikit angkuh. Semua itu menggemaskan. Dan mereka adalah teman setia dara remaja ini.

Memang, ia masih sangat muda. Tetapi di usianya yang kini baru menginjak belasan tahun, ia harus rela berpisah dengan kucing-kucingnya. Ia harus rela hidup sendiri, jauh dari kasih sayang orang tuanya. Maklum, Rani, demikian dia akrab disapa, kini menempuh pendidikannya di SMP Negeri 4 Mendoyo, sementara orang tuanya menetap di Denpasar.

“Melihat perkembangan dan kemajuan bidang pendidikan di Bali, saya dan orang tua melihat sistem pendidikan yang diterapkan Jembrana-lah yang paling maju. Saya sengaja dikirim orang tua untuk sekolah di Jembrana karena yakin akan kualitas pendidikan di Jembrana. Mau gak mau, saya harus belajar mandiri. Maklumlah, saya di sini harus hidup di asrama sekolah,” demikian pemilik nama lengkap Elvita Rani Chairunnisa’ yang kini duduk di kelas IX ini membuka obrolan.

Tinggal di asrama sekolah, Rani harus selalu berusaha menyesuaikan diri pada lingkungannnya. Peraturan ketat yang ada di asrama, diterima dan dijalaninya dengan ringan hati. Kegiatan apapun yang ingin diikutinya, Rani harus mendapat ijin resmi dari “Ibu Asuh” di asrama sekolah. Sementara itu, lingkungan pergauilannya yang kini mayoritas Hindu, bagi Dara asal Yogyakarta ini justru memberinya pengalaman dan nilai lebih dalam hidupnya.

“Saya benci jika ada orang yang memilih dalam bergaul. Bagi saya, perbedaan itu saya tempatkan sebagai sebuah keberagaman dan keniscayaan kehidupan. Jadi untuk apa menganggap diri kita berbeda? Saya juga berusaha mempelajari kesenian-kesenian Bali, salah satunya mempelajari tari Bali. Ini adalah salah satu bentuk penghargaan saya pada keberagaman itu sendiri. Bagaimanapun bentuk sebuah keberagaman itu, kalau benar-benar dinikmati pasti akan terasa indah. Saya suka hal-hal yang berbau seni. Jika ada waktu luang, pasti saya sempatkan untuk membaca novel dan puisi,” demikian dara manis kelahiran 6 September 1993 ini.

Dengan postur tubuh yang sedang berkembang menuju kematangan, pemilik tinggi badan 162 centimeter dan berat 49 kilogram ini kini sudah mulai membuktikan bakat lainnya yakni di bidang model. Ia terpilih menjadi model video klip lagu pembangunan Kabupaten Jembrana. Maka tidak mengherankan, Rani sekarang menjadi “selebriti remaja” di Jembrana. Setiap hari wajah manisnya muncul di layar Jimbarwana TV.

“Awalnya memang agak aneh rasanya melihat diri sendiri di TV. Apalagi kemudian banyak orang yang mengenal saya. Setiap keluar asrama jadi grogi rasanya diliat orang. Tetapi sejujurnya saya merasa bangga juga dapat kesempatan menjadi figur dalam lagu tersebut. Setidaknya inilah sumbangsih saya bagi Kabupaten dan masyarakat Jembrana tercinta,” ujarnya tersipu.

Didukung oleh lingkungan sekolah yang sangat memadai, kecintan Rani terhadap buku memang mendapat penyaluran yang pas. Penghobi bulu tangkis ini punya jadwal setiap Sabtu mengunjungi perpustakaan. “Di samping jadwal tetap, kalau ada jam pelajaran Agama Hindu di kelas saya pasti ke perpustakaan,” sambungnya.

Dalam kesadaran Rani sebagai remaja, membaca buku, buku apapun, bisa bermakna banyak. Pertama tentu saja menambah pengetahuan dan wawasan. Selanjutnya, buku-buku adalah sahabatnya, adalah tempatnya mengubur rasa kangen pada orang tua. Terutama bacaan sastra, bagi Rani adalah jalan keluar untuk menyegarkan pikiran sekaligus memetik nilai-nilai universal kehidupan. “Kalau kita mau hidup tidak kering, maka membaca bukulah jawabannya. Dan nilai-nilai intelektualitas merupakan faktor penting bagi siapa saja untuk menjadi apa saja. Agar diri dan hidup kita tidak kosong!” pungkasnya.

Yanti, Pendekatan Jarum Suntik...

Teks: Nanoq da Kansas

Foto: De'a Yogantara
Tentulah karena dia berolahraga, maka tubuhnya yang mungil itu jadi terlihat makin indah. Ketika suatu hari di sekolah dia mengenakan kebaya dengan canang di tangannya, para cowok yang belum mengenalnya pun tak tahan untuk mencuri-curi pandang. Bahkan beberapa diantaranya tak segan-segan berusaha mendekatinya dengan rasa penasaran.

Tapi kalau sore tiba, para cowok layak cemburu. Di sore hari Yanti lebih setia dengan raket dan si bulu ayam. Di sore hari, para cowok paling banter bisa sekadar mengintip Yanti di lapangan bulu tangkis. “Saya belajar dan menekuni bulu tangkis sejak masih di bangku SD,” demikian salah seorang tim inti Bulu Tangkis Kabupaten Jembrana untuk Porda Bali 2007 ini. “Saya dibimbing bapak, disemangati mama,” sambungnya.

Yanti memang dekat dengan sang ibu. Kedekatan itulah yang akhirnya membuat dia bercita-cita jadi dokter. Maklum, sang ibu adalah seorang tenaga medis. “Lagi pula saya ingin lebih dekat dengan jarum suntik. Ingin lebih mengenalnya, karena saya paling takut disuntik,” ujarnya bersemangat.

Tentang keindahan, penyandang gelar Juara III Ganda Campuran pada Kejurda Bali 2006 ini percaya pada dua hal, yakni rasa dan cara pandang. Seperti puisi yang sering dibacanya secara diam-diam di kamar tidur. “Puisi itu indah di dalam rasa, bukan pada fisiknya. Tetapi pemandangan dan kecantikan, keindahannya tergantung dari cara pandang kita. Dan dari sudut pandang tertentu, jarum suntik yang dibawa dokter pun bisa dikatakan indah. Apalagi itu bisa menyembuhkan seseorang dari penyakitnya. Orang sembuh dari sakit, maka kehidupan akan menjadi semakin indah,” begitu Yanti.

Ngobrol soal makanan vaforit, finalis Healt Ambasador di Unud Denpasar tahun lalu ini, mengaku lebih suka masakan dan makanan lokal. Bakso, ya pasti. Ayam betutu, ya, itulah kesukaannya. Bagi Yanti, masakan lokal adalah semacam semangat. Karena masakan lokal atau masakan Indonesia bumbu yang dipakai jauh lebih kompleks daripada masakan import. Dalam masakan lokal, seolah ada semangat kebersamaan yang kental. “Karena untuk memasak ayam betutu atau rendang padang saja misalnya, ada proses panjang yang bisa dikatakan sangat memerlukan kesuntukan. Membuat masakan lokal itu adalah salah satu bentuk prosesi semangat gotong royong kita. Beda dengan fastfood, di situ nyaris tak ada kebersamaan, selain orientasi dagang. Semua serba cepat dengan mengabaikan kesan. Di samping itu, masakan lokal atau tradisional bisa bikin kecantikan lebih awet dan umur panjang karena kandungan rempah-rempahnya. Rempah-rempah itu kan sangat penting. Jaman dulu bahkan gara-gara negeri kita kaya rempah-rempah kita sampai dijajah oleh bangsa Eropa,” ujar Yanti semangat.

Kembali ke olah raga, Yanti punya optimisme yang tinggi terhadap tanah kelahirannya, Jembrana. Menurutnya, potensi yang ada sudah tidak perlu diragukan. Masalahnya sejak dulu hingga sekarang bahkan mungkin ke depan, hanya masalah manajemen. Menurutnya, olah raga itu sama dengan kesenian, memerlukan manajemen yang mandiri. Selama ini manajemen olah raga di tiap-tiap daerah masih terkesan asal-asalan. Manajemen olah raga di daerah hanya digarap secara dadakan pada saat ada pertandingan atau ada event-event. “Penghargaan kepada para atlet juga masih sangat rendah, baik secara finansial maupun prestasi. Para elit di Indonesia hanya mendekati para atlit di saat-saat ada kepentingan politik. Coba saja menjelang pemilihan umum, orang-orang yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat atau menjadi penguasa tiba-tiba mendekati para atlit. Setelah itu, mereka lupa,” demikian penggemar buah anggur ini serius.

Dara berbintang Sagitarius ini mengaku kurang bisa berdandan. Kalau pun harus berdandan, dia pasti minta bantuan pada ibu. “Dulu saya malah sering dibilang tomboy karena lebih suka memakai celana jean dan t.shirt. Saya gak bisa pakai bedak. Tapi sekarang saya sudah mulai belajar lebih feminim hehehe...,” candanya. Lalu bagaimana soal pacaran? “Wah, yang ini rahasia. Lagipula saya belum dapat ijin pacaran dari ortu. Yang jelas, cowok yang saya sukai harus baik, jujur, pengertian dan bertanggung jawab. Itu saja,” dia mengakhiri obrolan dengan sedikit malu-malu.