Pipiet, Tidak Takut Kulitnya Hitam

Teks & Foto: Nanoq da Kansas
Lahir di dekat pantai, tetapi lebih menyukai gunung. Dua kekuatan alam itu sangat berpengaruh pada dirinya. Bola umpan dari temannya pun dihempas dengan pukulan smash sepenuh tenaga menembus daerah lawan. Ada yang masuk dan menjadi point, tetapi ada juga yang terblokir dan sia-sia. Saat itu, hanya dua kemungkinan yang menunggunya. Menang atau kalah. Keduanya bukan pilihan, tetapi keduanya adalah resiko. Toh ini hanya sebuah permainan yang pasti akan berakhir dengan cepat. Sementara kehidupan menanti dengan permainan-permainan lain yang jauh lebih rumit, jauh lebih tak terduga dengan resiko yang juga tak bisa dipilih. “Saya ingin membuat bangga Ibu dan orang-orang yang telah mendukung saya,” demikian motivasi yang selalu ia tumbuhkan dalam dirinya.

Sungguh, Pipiet masih sangat belia. Tetapi Pipiet yang bernama lengkap Fitri Hardiyanti Anwar, sudah tercatat sebagai pemain inti Provinsi Bali untuk cabang olah raga Bola Voly. “Saya mulai dimasukkan sebagai atlit PBVSI Bali sejak kelas tiga SMP. Saat itu langsung ikut mewakili Bali ke Surabaya. Lalu mewakili Bali dalam Kapolri Cup I dan kami mendapat peringkat III. Tahun 2006 ini ikut lagi dalam Kapolri Cup II di Madiun, sayangnya kami kalah,” ceritanya dengan nada polos khas remaja.

Menekuni tari bali sejak di sekolah dasar hingga tamat SMP, Penari Oleg Tambulilingan ini pun lebih menyukai gunung daripada laut dan lebih menyukai senja hari ketimbang pagi. Di hati Pipiet, gunung adalah sebuah kekuatan sekaligus keanggunan, sedangkan senja adalah keindahan yang penuh misteri. “Senja lebih mengerti perasaan kita karena saat itu sang waktu terasa lebih ramah. Sedangkan pagi hari semuanya terlihat begitu sibuk, terburu-buru, dikejar waktu, dan... saya masih ngantuk,” candanya dengan senyum yang memesona.

Di dalam kelas, Pipiet mengaku paling suka pelajaran Bahasa Indonesia karena baginya Bahasa Indonesia itu unik. Pipiet selalu merasa lambat untuk memahami angka-angka. “Nanti saya akan memilih jurusan sosial saja,” kata alumni SMP Negeri 4 Melaya ini dengan tegas. Soal makanan, Pipiet paling suka nasi goreng sea food. Kalau disuruh memilih warna-warna, ABG yang tak takut kulitnya hitam ini akan memilih warna hitam, putih dan biru. “Saya merasa warna-warna itu bisa membuat hati tenteram,” ujarnya datar. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, sejak kelas tiga sekolah dasar Pipiet sudah tidak bisa lagi merasakan kehangatan kasih seorang ayah. “Ayah saya meninggal ketika saya masih kelas tiga sekolah dasar. Jadi, pada ibulah saya menemukan semuanya,” matanya menerawang mungkin membayangkan Sang Ibu yang jauh.

Ya, Pipiet sejak mulai masuk SMA tinggal cukup berjauhan dengan ibu dan adiknya. Sang Ibu masih di Gilimanuk, Pipiet bersama Mbah di Negara. Rasa kangen selalu ada, tetapi baginya yang lebih penting dari kangen adalah pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Lagipula saya sudah cukup terbiasa jauh dari rumah. Saat-saat pemusatan latihan di Denpasar, saya bisa seminggu atau lebih di wisma atlit,” tuturnya pula.

Sebagai atlit perempuan, cantik dan masih remaja, Pipiet dengan lugu bisa bercerita tentang romantika di tempat latihan atau lokasi pertandingan. Tentu tidak sedikit yang suka menggoda-goda, atau bahkan ada cinta lokasi. Tetapi Pipet bisa menyikapinya dengan sikap dewasa. “Saya masih remaja. Saya menyikapi hal-hal seperti itu sebagai bagian dari persahabatan saja. Kalau ada yang keterlaluan, ya saya cuekin. Lagian kan hanya kenal di situ saja,” demikian si penyayang kelinci ini memaparkan kiatnya menghadapi godaan. Ditanya perasaannya pada setiap menghadapi pertandingan, dia mengaku masih suka degdegan, grogi dan cemas. “Apalagi kalu melihat lawan-lawan yang sudah senior, saya awal-awalnya masih grogi. Tetapi perasaan itu dengan cepat hilang kalau pertandingan sudah berlangsung.”

Banyak temannya yang menganggap Pipiet tomboi. Mungkin karena penampilannya yang selalu simpel dan tidak terlalu urusan dengan mode. Tetapi toh dia mengaku bisa cukup lama kalau mandi. Sementara waktu senggangnya bersama Mbah, dia gunakan untuk membaca atau nonton film. “Saya menyukai film drama, tetapi yang tidak cengeng. Saya juga suka menggambar dan kadang-kadang menyanyi dangdut di kamar hehehe...,” tawanya lepas di sore itu.

Diah, Layang-layang, Cintailah...

Teks: Wendra Wijaya

Layang-layang itu senantiasa bergerak mengikuti angin senja. Melenggok dan berputar dengan anggunnya di atas kepala kami sore itu. Sementara dari tatap bening gadis Scorpio itu, ada pancaran keikhlasan tetapi sekaligus penuh semangat memandang langit yang mendung. Rasa cinta dalam persahabatannya dengan semesta, rupanya telah menempanya hingga tumbuh sebagai sosok remaja yang sederhana.

“Alam telah banyak memberi inspirasi pada saya. Bagi saya yang terindah itu adalah, bagaimana kita dapat menjadi bagian dari alam. Setidaknya, bisa memberi sedikit warna saja dalam kehidupan ini,” demikian Diah, di suatu senja. Sederhana, tapi sebuah pengakuan yang mengandung sebuah kekuatan nan penuh misteri. “Tapi bagi saya, main layangan tetap yang paling asyik haha....,” pemilik nama lengkap Ni Putu Diah Prasinthya Oktarini Dewi ini tertawa lepas.

Areal pesawahan yang tak begitu jauh dari rumahnya di selalu menjadi tempat favorit bagi gadis yang akan memasuki usia yang ke-18 pada 30 Oktober mendatang. Meski memiliki kulit putih mulus seperti yang diidam-idamkan gadis sebayanya, Diah yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di SMAN 1 Negara tak menganggapnya sebagai kelebihan. Baginya, alam telah memberikan yang terbaik bagi siapa saja, tak membedakan warna kulit atau warna rambut. Ya, selalu alam.

Mengaku gemar memasak, Diah tiba-tiba begitu bersemangat mengatakan bahwa hasil masakannya selalu enak. “Pasti lezat. Buktinya, bapak selalu nambah makan kalau saya yang masak,” ujarnya.

Toh dalam pengalamannya, Diah tak selalu mengalami yang baik dan indah-indah saja. Banyak juga rintangan dan pengalaman pahit yang pernah ditemuinya. “Kenapa harus sedih? Bukankah lebih baik menerima apa yang sudah ditetapkan menjadi bagian hidup kita? Alam dan kehidupan sudah sangat bijak memberi apa yang pantas kita terima. Jadi, tugas kita sebagai remaja dan sebagai manusia pada umumnya adalah, selalu berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari. Jangan pernah putus asa. Cintailah diri sendiri, cintailah orang lain, cintailah kehidupan ini,” kata-katanya mengalir seperti air sungai di antara jajaran pohon cemara.

Cara menjalani hidup dengan sederhana inilah yang kemudian mampu membawa mantan Putri Hardy’s dan Jegeg Bali 2006 ini meraih segudang prestasi. “Jujur saja, setiap kali lomba saya berusaha melepas beban yang mengganjal sampai hati ini benar-benar ikhlas dan damai untuk mengikuti kegiatan,” kata remaja yang hobi memasak dan menari ini.

Obrolan kami sore itu diiringi rintik kecil hujan bulan Juni. Angin nakal yang datang membawa tempias, terabaikan dengan berbagai cerita Diah yang tak putus-putus. Beberapa teman pelukis yang kebetulan datang pun ikut nimbrung dan mendengarkan berbagai kisah yang meluncur dari bibir Diah. Luar biasa daya pikat darinya. Bukan karena kecantikannya, tapi pemahaman-pemahaman tentang kehidupanlah yang membuat dara pemilik suara merdu ini selalu didekati teman-temannya.

Ya, kendati memiliki wajah cantik, toh gadis penyandang beberapa gelar juara fotogenic ini mengaku tak muluk-muluk dalam memilih pacar. Cukup dengan berpenampilan rapi, wangi, tinggi dan setia, seorang pria dapat menarik perhatiannya. Kalau ingin menarik hatinya, seorang pria harus bisa menghargai wanita. “Seorang pria tak boleh seenaknya main sentuh wanita. Memegang tangan saja ada aturannya kok. Jangan asal selonong,” cetusnya Tapi Diah akhirnya juga mengaku bahwa mungkin karena sifatnya yang tergolong “agak kolot” dalam urusan cinta, maka cowok tak betah lama-lama bersamanya. “Tapi gak apa, saya akan tetap teguh untuk menempatkan batas-batas kewajaran di atas hubungan yang saya jalin dengan cowok. Saya yakin nanti juga ketemu yang tepat. Biar dibilang primitif, yang penting itu tidak menghancurkan,” ucapnya sambil menatap hamparan sawah yang tepat berada di depan kami.

Layang-layang itu kemudian kembali berputar, melenggok, bahkan menukik turun. Kami sama-sama menengadah menikmati dan menghayati makna yang tersirat dari sebuah layang-layang. Kemudian ia tersenyum, entah untuk siapa. Mungkin untuk layang-layang yang telah mengajarkannya tentang cinta, keikhlasan, persahabatannya dengan semesta.

Gek Riris, Gerimis Temani Sepiku...

Teks: Wendra & Nanoq da Kansas

Foto: De'a Yogantara
Rintik gerimis yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan, menciptakan semburat pelangi di sore itu. Keheningan pun menciptakan rasa tenteram pada pertemuan kami. “Berteduhlah, sekalipun di luar hanya gerimis,” ucap dara itu. Lalu kami masuk lebih jauh di salah satu ruang Puri Singaraja, Buleleng, kediaman mahasiswi Undiksha itu. Nuansa religius begitu kental menyapa. Dan berbagai benda antik yang ditata sedemikian rupa, semakin mengristalkan aroma spriritul khas sebuah puri.

Kendati tubuh indahnya dibalut kebaya bergaya khas remaja, senja itu Gek Riris toh belum sepenuhnya dapat menghapus gurat duka di wajahnya. Kepergian Ayahandanya menghadap Sang Khalik beberapa waktu lalu sangat memukul perasaannya. “Tapi ya, beginilah konsekuensi kehidupan. Manusia lahir, tumbuh dan diakhiri dengan kematian. Meski sedih, semuanya harus tetap berjalan. Bukankah kehidupan tidak boleh terhenti oleh proses kematian seseorang? Memang terasa sulit, tetapi kehidupan harus tetap berjalan. Belakangan ini, gerimis adalah teman kesedihan saya,” begitu puitisnya dara pemilik nama lengkap Anak Agung Ayu Rahadiani Cwari ini.

Dan gerimis pun memang menjadi teman dalam percakapan kami. Setidaknya, semburat pelangi yang membuat anggun cuaca sore itu, cukup menghibur hati. Sementara itu, bagi dara berusia 19 tahun yang lahir di Denpasar, 26 Juni ini, daya tangkapnya atas fenomena kehidupan yang kemudian dipahaminya dengan sederhana, telah mampu dijadikannya pemicu untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kampung halamannya, Singaraja. Predikat “Jegeg Bali 2007” pun berhasil diboyongnya. “Kita tidak boleh asal-asalan ketika akan memulai sesuatu. Saya ingin dalam mengerjakan sesuatu harus benar-benar total dan tuntas. Tidak boleh setengah-setengah. Dan itu tentu membutuhkan keikhlasan. Kecerdasan itu tidak hanya dibangun dengan penjejalan ilmu-ilmu praktis, tapi juga harus dibangun dari wilayah spiritual dan pengendalian emosi,” ujar Riris seolah kepada dirinya sendiri.

Penyuka warna merah, hitam dan pink yang juga penghobi berbagai buku bacaan ini, memiliki minat yang begitu besar pada budaya dan bahasa Jepang. “Saya memilih jurusan Bahasa Jepang. Gadbatte kudasai, selamat sukses, hahaaaa…. Sekarang tidak banyak yang mempelajari budaya Jepang. Bagi saya, banyak pelajaran yang dapat diambil dan ditiru dari budaya Jepang, terutama kedisiplinan masyarakatnya. Kalau dibandingkan Jepang, negara kita tidak ada apa-apanya. Nah, mengapa kita tidak mencoba belajar dan menerapkan sisi-sisi positif dari budaya Jepang itu? Saya rasa itu akan bisa membawa perubahan yang lebih baik. Seperti yang saya dengar, untuk daerah di Bali mungkin baru Jembrana yang sedang mengadopsi dan menerapkan beberapa sisi positif budaya masyarakat Jepang,” lanjut pemilik kulit sawo matang ini.

Iya, Jembrana memang menjadi daerah yang sangat dikagumi pemilik tinggi badan 162,5 centimeter dan berat 50 kilogram ini. Kiprah anak-anak muda Jembrana dalam kesenian, menjadi makna dan nilai tersendiri di hati Riris. “Meski belum pernah datang ke Jembrana, saya telah banyak mendengar keberhasilan dan kemajuan Jembrana di bawah kepemimpinan Bupati Winasa. Keren banget! Jembrana yang dulunya hanya kabupaten kecil di Bali, kini sudah menjadi primadona di tingkat nasional bahkan internasional. Pergaulan kreatif pemuda Jembrana juga semakin membuat saya tertarik datang ke sana. Dari sisi seni budaya, karya-karya anak muda Jembrana semisal puisi dan musik, tentulah hasil dari pergaulan kreatif mereka dengan wawasan yang lebih luas serta tidak terlepas dari kerjasama dengan generasi yang lebih tua. Artinya, saya melihat generasi muda Jembrana adalah generasi yang berjiwa terbuka dan mau belajar keras,” demikian apresiasinya.

Segudang prestasi ditambah kharisma yang dimilikinya, tidak membuat anak kedua dari pasangan AA. Ngurah Dirgha (almarhum) dengan Sumarni Astuti ini berperilaku sebagai sosok yang merasa “lebih”. Kesederhanaan yang terpancar dari tutur kata dan perilakunya itu, juga menjadi anutannya dalam menentukan sosok pria idaman. “Lelaki yang mendapat tempat di hati saya adalah sosok yang bisa memberi kasih sayang yang tulus tanpa banyak menuntut. Sebenarnya dalam melakukan beberapa hal, saya banyak meminta saran teman,” Mereka juga yang telah menjadi sumber inspirasi dan motivator saya untuk melakukan segala sesuatu yang positif,” demikian gadis pengagum film Black Hawk Down inI.

Gerimis tiba-tiba berhenti. Mentari perlahan muncul dengan semburat yang cerah. Gek Riris termangu, entah memikirkan apa. Mungkinkah keindahan mentari selepas hujan telah memberinya harapan-harapan baru? Kemudian senyum manis tersungging di bibirnya. Entah untuk siapa. Mungkinkah untuk gerimis yang senantiasa setia menjadi teman sepinya? Entah!

Putri, Penampilan Bisa Menipu

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Kalau tidak salah, lebih dari tiga kali kami membuat janji bertemu. Setiap janji dengannya selalu saja harus dikoreksi. Janji pertama dijadwal ulang karena Putri –demikian dia akrab disapa, mendadak sakit. Biasalah, flu dan pilek selalu gampang menghampiri orang-orang yang lebih suka di luar rumah. Di samping kerena setiap hari naik motor dari rumah ke sekolahnya yang lumayan jauh, saban sore dara manis kelahiran 14 januari 1990 ini harus mondar-mandir ke studio Jimbarwana TV. Maklum, dia adalah salah satu presenter televisi milik masyarakat Jembrana tersebut.

Janji kedua dijadwal ulang melalui SMS. Siswi kelas II IPS-1 SMA Negeri 1 Negara ini tidak bisa keluar rumah karena keesokan harinya akan ada ulangan. “Maaf, bli. Menjadi murid saat ini tidak terlalu nyaman. Belajar harus ngebut seperti mesin. Kalau tidak, ancamannya kita tidak lulus ujian nasional. Kan gawat? Padahal saya bercita-cita kuliah di Fakultas Hukum. Kalau bisa, saya ingin kuliah di Gajah Mada, Jogyakarta,” begitu dia bercerita di kemudian hari pada pertemuan kami.

Soal dunia pendidikan, Putri adalah remaja kesekian yang berani mengemukakan pikiran kritisnya. “Saya setuju banget kalau ada yang mengatakan bahwa sekolah kita saat ini telah berubah hanya menjadi tempat kursus untuk menghadapi ujian nasional. Hubungan antara para guru dan murid-murid nyaris tidak ada ikatan emosional. Para guru dikejar target jam mengajar dan kurikulum, murid-murid diliputi ketegangan atas ancaman tidak lulus ujian nasional. Jadi, masing-masing sibuk dengan target sendiri. Mana sekarang ada guru yang sempat menanyakan kabar muridnya, atau memperhatikan kondisi bhatin muridnya. Pokoknya semua berpacu. Di luar jam sekolah, murid-murid berlomba kursus atau les. Ah, murid-murid sekarang sungguh menjadi kelinci percobaan kurikulum yang setiap saat bisa berubah. Tapi para bapak-bapak di atas sana kok seolah-olah tak mau tahu ya?” Keluhnya pada suatu senja sambil melakukan beberapa adegan pemotretan.

Banyak yang menduga, penari Bali dengan sederet prestasi di tingkat kabupaten maupun provinsi ini akan cerewet menilai penampilan cowok. Tidak sama sekali. Si penyayang kelinci tetapi takut kucing ini punya konsep sederhana tentang cowok idaman, yakni cukup baik hati dan sedikit cerdas. Masalah tampang dan penampilan adalah nomor buncit. “Jangan meyakini cowok hanya dari penampilan dan wajahnya yang terlihat cakep. Itu bisa menipu. Cowok yang pantas diidolakan adalah mereka yang berhati baik, cerdas, mengerti perasaan perempuan, dan nyambung kalau diajak ngobrol,” ujarnya serius sambil menambahkan bahwa dirinya tergila-gila dengan cowok pembalap.

Bernama lengkap Ni Komang Putri Sasmita Swandewi, penyuka warna pink dan nuansa-nuansa kecoklatan ini, kini mulai mencoba merambah dunia akting. Dia mengaku ingin serius belajar akting di depan kamera. “Tetapi di sini saya belum ketemu orang yang bisa membimbing saya belajar hal itu secara serius. Padahal setelah kita punya media televisi sekarang ini, seharusnya ada yang mengambil bidang bimbingan akting atau drama secara serius. Ke depan, saya kira dunia akting semakin menjanjikan setidaknya sebagai media ekspresi bagi para remaja. Bahkan bisa menjadi peluang kerja,” ujarnya pula.

Oh iya, janji pertemuan kami harus dijadwal lagi untuk ketiga kalinya gara-gara hujan deras. Padahal ketika kami akhirnya bertemu, hujan toh turun juga. Jalanan senja itu tergenang air. Tetapi apalah artinya gerimis jika senja kemudian menjadi lebih hangat oleh tawa lepas Putri yang senja itu datang berbalut jeans ketat dipadu sweter pink yang memperlihatkan bahu indahnya. "Cuaca tak menentu saat ini. Inilah akibat buruk dari perusakan alam, dan kita hanya bisa mengeluh," desahnya. Ya, Putri benar. Soal alam, kita memang hanya bisa mengeluh. Mak teruslah menari, Putri. Setidaknya alam akan sedikit terhibur oleh kerling matamu yang tajam itu.

Senyum dan Sepi di Bibir Risti

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Dunia, ya, sudut dunia manakah yang bisa percaya bahwa seorang perempuan menangis bukan karena manja, tetapi karena memang dunia itu sendiri yang butuh ditangisi? Dan begitulah Risti, remaja yang tengah berupaya menandai salah satu sudut dunia bernama modeling itu dengan eksistensinya. Risti sesekali butuh menangis, butuh masuk ke ruang paling pribadinya, menggumam sendiri: “Dunia, engkau sepi sekaligus sungguh keras!”

Tetapi apa sih sejatinya yang masih perlu diperjuangkan seorang Risti? Cantik, sudah. Dikenal banyak orang, sudah. Dia pun bisa membeli celana jeans yang tidak pasaran dengan merek yang bahkan hanya beberapa gelintir temannya saja yang tahu, kemana-mana menggenggam handphone berseri 910i. Apa sih yang masih dicari seorang Risti? “Setiap orang harus menemukan dunianya sendiri. Menemukan rumah bagi badan dan jiwanya sendiri. Dan itulah yang tersulit bagi saya. Saya menangis untuk bagian kehidupan yang saya rindukan, yang menjadi cita-cita, tetapi begitu kerasnya jalan untuk menemukannya,” ujarnya di senja itu.

Di senja yang cerah itu, mendekap tas remaja bermerek gosh, Desak Putu Oka Risti Mayasari bercerita tentang warna putih kesukaannya. Bercerita tentang kucing, anjing dan hamster yang baginya sungguh menggemaskan. “Sungguh, dunia modeling terlihat glamour hanya dari luar. Di dalamnya hanyalah kehidupan yang biasa. Dunia yang manusiawi. Melelahkan, bahkan terkadang tak ada kompromi. Saat badan lelah atau sakit kepala pun kita dituntut harus tersenyum di atas catwalk atau di tengah orang banyak. Ada persaingan, ada waktu yang terkadang tak mengenal toleransi. Semua itu sungguh melelahkan. Tetapi saya ingin profesional di sana,” tutur siswi kelas III IPA SMA Negeri 1 Negara ini.

Mengaku hanya bisa curhat ke mama bila sedang mendapat masalah, Risti tumbuh menjadi ABG yang mau tak mau mesti mandiri. “Karena tak ada yang membantu, saya sering kelimpungan untuk mengurus diri sendiri. Pernah saya mewakili kabupaten di sebuah event, semua saya urus sendiri. Konyolnya, sampai uang saku pun saya keluarkan dari kantong sendiri,” ujarnya setengah menggumam. Cita-citanya untuk mengikuti sebuah event di India juga dengan pahit dihapusnya. Karena Risti tak tahu harus cari sponsor ke mana. “Pernah terlintas mau minta bantuan ke pemda, tapi saya malu bertanya pada siapa,” lanjutnya.

Ketika dunia modeling Bali ikut-ikutan terhanyut eforia jargon “Ajeg Bali”, Risti sempat bimbang. Dalam benak remajanya dia bertanya, kenapa sesuatu yang semestinya bisa berjalan apa adanya mesti direcoki oleh urusan-urusan yang dipaksakan dan dibesar-besarkan? “Ajeg Bali dalam konteks tertentu membuat perasaan sukeh-sukeh ben (serba salah-red),” ujarnya serius. Bagi Risti, persoalan kehidupan sosial suatu masyarakat, termasuk Bali, tidaklah bisa diatur dengan berlebihan. “Kehidupan kan dinamis. Melaju ke depan dengan romantikanya sendiri. Cara orang berpakaian, cara bicara, cara memandang sesuatu bahkan cara hidup, semua itu bergerak untuk menemukan jamannya sendiri-sendiri. Yang harus dipertahankan adalah nilainya, spiritnya, bukan pisiknya. Tapi pemikiran orang-orang tua cenderung memaksakan kehendak untuk memasung kehidupan sosial yang dinamis itu. Ini justru akan merugikan diri kita sendiri. Tapi, ya, gimana lagi? Dalam situasi tertentu kita tidak bisa minta kompromi, tetapi harus mengalah. Saya sering berada dalam sitausi mengalah itu,” lanjutnya lagi.

Seks dan pergaulan bebas di kalangan remaja adalah wacana sekaligus fenomena yang tak pernah redup. Risti pun mengakui hal itu. Menurutnya, seketat apapun aturan yang ada, baik di tingkat keluarga maupun lingkungan secara umum, pada akhirnya tak bisa mengendalikan sepenuhnya gaya hidup para remaja secara individu. "Soalnya peluang dan kontrolnya ada dan melekat di masing-masing pribadi remaja itu sendiri. Saya tidak suka seks bebas maupun pergaulan bebas. Tetapi saya hanya ingin mengingatkan teman-teman, berbahagialah dengan cinta dan pacar, tetapi tetap ingat pada rambu-rambu yang normal. Dan terutama sekali, kebebasan bergaul yang menjadi trend saat ini, harus diimbangi dengan prestasi positif," ujar penggemar buah juwet ini dengan sepenuh hati.

Elvita Rani, Agar Tidak Kosong

Teks: Wendra Wijaya

Foto: Nanoq da Kansas
Dara remaja ini punya 11 ekor kucing di rumahnya. Sebagian besar jenis Angora. Kenapa? Karena sifat kucing penuh misteri, tetapi penampilannya anggun, terkadang manja bahkan sedikit angkuh. Semua itu menggemaskan. Dan mereka adalah teman setia dara remaja ini.

Memang, ia masih sangat muda. Tetapi di usianya yang kini baru menginjak belasan tahun, ia harus rela berpisah dengan kucing-kucingnya. Ia harus rela hidup sendiri, jauh dari kasih sayang orang tuanya. Maklum, Rani, demikian dia akrab disapa, kini menempuh pendidikannya di SMP Negeri 4 Mendoyo, sementara orang tuanya menetap di Denpasar.

“Melihat perkembangan dan kemajuan bidang pendidikan di Bali, saya dan orang tua melihat sistem pendidikan yang diterapkan Jembrana-lah yang paling maju. Saya sengaja dikirim orang tua untuk sekolah di Jembrana karena yakin akan kualitas pendidikan di Jembrana. Mau gak mau, saya harus belajar mandiri. Maklumlah, saya di sini harus hidup di asrama sekolah,” demikian pemilik nama lengkap Elvita Rani Chairunnisa’ yang kini duduk di kelas IX ini membuka obrolan.

Tinggal di asrama sekolah, Rani harus selalu berusaha menyesuaikan diri pada lingkungannnya. Peraturan ketat yang ada di asrama, diterima dan dijalaninya dengan ringan hati. Kegiatan apapun yang ingin diikutinya, Rani harus mendapat ijin resmi dari “Ibu Asuh” di asrama sekolah. Sementara itu, lingkungan pergauilannya yang kini mayoritas Hindu, bagi Dara asal Yogyakarta ini justru memberinya pengalaman dan nilai lebih dalam hidupnya.

“Saya benci jika ada orang yang memilih dalam bergaul. Bagi saya, perbedaan itu saya tempatkan sebagai sebuah keberagaman dan keniscayaan kehidupan. Jadi untuk apa menganggap diri kita berbeda? Saya juga berusaha mempelajari kesenian-kesenian Bali, salah satunya mempelajari tari Bali. Ini adalah salah satu bentuk penghargaan saya pada keberagaman itu sendiri. Bagaimanapun bentuk sebuah keberagaman itu, kalau benar-benar dinikmati pasti akan terasa indah. Saya suka hal-hal yang berbau seni. Jika ada waktu luang, pasti saya sempatkan untuk membaca novel dan puisi,” demikian dara manis kelahiran 6 September 1993 ini.

Dengan postur tubuh yang sedang berkembang menuju kematangan, pemilik tinggi badan 162 centimeter dan berat 49 kilogram ini kini sudah mulai membuktikan bakat lainnya yakni di bidang model. Ia terpilih menjadi model video klip lagu pembangunan Kabupaten Jembrana. Maka tidak mengherankan, Rani sekarang menjadi “selebriti remaja” di Jembrana. Setiap hari wajah manisnya muncul di layar Jimbarwana TV.

“Awalnya memang agak aneh rasanya melihat diri sendiri di TV. Apalagi kemudian banyak orang yang mengenal saya. Setiap keluar asrama jadi grogi rasanya diliat orang. Tetapi sejujurnya saya merasa bangga juga dapat kesempatan menjadi figur dalam lagu tersebut. Setidaknya inilah sumbangsih saya bagi Kabupaten dan masyarakat Jembrana tercinta,” ujarnya tersipu.

Didukung oleh lingkungan sekolah yang sangat memadai, kecintan Rani terhadap buku memang mendapat penyaluran yang pas. Penghobi bulu tangkis ini punya jadwal setiap Sabtu mengunjungi perpustakaan. “Di samping jadwal tetap, kalau ada jam pelajaran Agama Hindu di kelas saya pasti ke perpustakaan,” sambungnya.

Dalam kesadaran Rani sebagai remaja, membaca buku, buku apapun, bisa bermakna banyak. Pertama tentu saja menambah pengetahuan dan wawasan. Selanjutnya, buku-buku adalah sahabatnya, adalah tempatnya mengubur rasa kangen pada orang tua. Terutama bacaan sastra, bagi Rani adalah jalan keluar untuk menyegarkan pikiran sekaligus memetik nilai-nilai universal kehidupan. “Kalau kita mau hidup tidak kering, maka membaca bukulah jawabannya. Dan nilai-nilai intelektualitas merupakan faktor penting bagi siapa saja untuk menjadi apa saja. Agar diri dan hidup kita tidak kosong!” pungkasnya.

Yanti, Pendekatan Jarum Suntik...

Teks: Nanoq da Kansas

Foto: De'a Yogantara
Tentulah karena dia berolahraga, maka tubuhnya yang mungil itu jadi terlihat makin indah. Ketika suatu hari di sekolah dia mengenakan kebaya dengan canang di tangannya, para cowok yang belum mengenalnya pun tak tahan untuk mencuri-curi pandang. Bahkan beberapa diantaranya tak segan-segan berusaha mendekatinya dengan rasa penasaran.

Tapi kalau sore tiba, para cowok layak cemburu. Di sore hari Yanti lebih setia dengan raket dan si bulu ayam. Di sore hari, para cowok paling banter bisa sekadar mengintip Yanti di lapangan bulu tangkis. “Saya belajar dan menekuni bulu tangkis sejak masih di bangku SD,” demikian salah seorang tim inti Bulu Tangkis Kabupaten Jembrana untuk Porda Bali 2007 ini. “Saya dibimbing bapak, disemangati mama,” sambungnya.

Yanti memang dekat dengan sang ibu. Kedekatan itulah yang akhirnya membuat dia bercita-cita jadi dokter. Maklum, sang ibu adalah seorang tenaga medis. “Lagi pula saya ingin lebih dekat dengan jarum suntik. Ingin lebih mengenalnya, karena saya paling takut disuntik,” ujarnya bersemangat.

Tentang keindahan, penyandang gelar Juara III Ganda Campuran pada Kejurda Bali 2006 ini percaya pada dua hal, yakni rasa dan cara pandang. Seperti puisi yang sering dibacanya secara diam-diam di kamar tidur. “Puisi itu indah di dalam rasa, bukan pada fisiknya. Tetapi pemandangan dan kecantikan, keindahannya tergantung dari cara pandang kita. Dan dari sudut pandang tertentu, jarum suntik yang dibawa dokter pun bisa dikatakan indah. Apalagi itu bisa menyembuhkan seseorang dari penyakitnya. Orang sembuh dari sakit, maka kehidupan akan menjadi semakin indah,” begitu Yanti.

Ngobrol soal makanan vaforit, finalis Healt Ambasador di Unud Denpasar tahun lalu ini, mengaku lebih suka masakan dan makanan lokal. Bakso, ya pasti. Ayam betutu, ya, itulah kesukaannya. Bagi Yanti, masakan lokal adalah semacam semangat. Karena masakan lokal atau masakan Indonesia bumbu yang dipakai jauh lebih kompleks daripada masakan import. Dalam masakan lokal, seolah ada semangat kebersamaan yang kental. “Karena untuk memasak ayam betutu atau rendang padang saja misalnya, ada proses panjang yang bisa dikatakan sangat memerlukan kesuntukan. Membuat masakan lokal itu adalah salah satu bentuk prosesi semangat gotong royong kita. Beda dengan fastfood, di situ nyaris tak ada kebersamaan, selain orientasi dagang. Semua serba cepat dengan mengabaikan kesan. Di samping itu, masakan lokal atau tradisional bisa bikin kecantikan lebih awet dan umur panjang karena kandungan rempah-rempahnya. Rempah-rempah itu kan sangat penting. Jaman dulu bahkan gara-gara negeri kita kaya rempah-rempah kita sampai dijajah oleh bangsa Eropa,” ujar Yanti semangat.

Kembali ke olah raga, Yanti punya optimisme yang tinggi terhadap tanah kelahirannya, Jembrana. Menurutnya, potensi yang ada sudah tidak perlu diragukan. Masalahnya sejak dulu hingga sekarang bahkan mungkin ke depan, hanya masalah manajemen. Menurutnya, olah raga itu sama dengan kesenian, memerlukan manajemen yang mandiri. Selama ini manajemen olah raga di tiap-tiap daerah masih terkesan asal-asalan. Manajemen olah raga di daerah hanya digarap secara dadakan pada saat ada pertandingan atau ada event-event. “Penghargaan kepada para atlet juga masih sangat rendah, baik secara finansial maupun prestasi. Para elit di Indonesia hanya mendekati para atlit di saat-saat ada kepentingan politik. Coba saja menjelang pemilihan umum, orang-orang yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat atau menjadi penguasa tiba-tiba mendekati para atlit. Setelah itu, mereka lupa,” demikian penggemar buah anggur ini serius.

Dara berbintang Sagitarius ini mengaku kurang bisa berdandan. Kalau pun harus berdandan, dia pasti minta bantuan pada ibu. “Dulu saya malah sering dibilang tomboy karena lebih suka memakai celana jean dan t.shirt. Saya gak bisa pakai bedak. Tapi sekarang saya sudah mulai belajar lebih feminim hehehe...,” candanya. Lalu bagaimana soal pacaran? “Wah, yang ini rahasia. Lagipula saya belum dapat ijin pacaran dari ortu. Yang jelas, cowok yang saya sukai harus baik, jujur, pengertian dan bertanggung jawab. Itu saja,” dia mengakhiri obrolan dengan sedikit malu-malu.

Mila dan Filsafat Sabun Mandi

eks: Wendra Wijaya

Foto: De'a Yogantara
Busa itu menggeliat dalam genggaman tangannya. Sesekali, gelembung yang terlahir dari gumpalan buih putih itu melayang, lalu sirna seketika....

Memandang gumpalan lembut di tangannya, gadis itu termenung. Di matanya, terlihat sebuah cinta dan pemaknaan sebuah hidup. Ada kebahagiaan dan ketenangan dalam sebuah upacara; berdamai dengan kesendirian!

Ya, saya selalu seperti ini. Biarpun di sekeliling saya banyak orang, entah itu keluarga, teman, saudara, saya selalu merasa sendiri. Tapi saya bahagia dan sangat menikmatinya! Tidak ada yang lebih mengasyikkan dari memainkan busa sabun mandi. Gelembung yang tercipta dari sabun mandi ini sudah menjadi teman. Bahkan tak jarang, saya sering melamunkan sesuatu saat menciptakan gelembung sabun ini,” kata Mila membuka obrolannya.

Bagi pemilik nama lengkap Ni Ketut Mila Puspita Sari, banyak hal yang dapat dipelajari dalam ”upacara” itu. Tentang cinta, keindahan, ketenangan, pun sebuah ketidakabadian. Di matanya, segala keindahan sama halnya dengan ketidaksempurnaan. Seluruhnya tidak akan tetap utuh dan kemudian sirna.

”Gelembung sabun itulah contohnya. Saat tercipta, ia melayang berkilauan dan menyajikan keindahan yang tak terbantahkan. Tapi itu hanya sesaat saja. Seluruhnya akan kembali ke asalnya. Sirna dan tak berbentuk,” ucap gadis yang mengaku betah berlama-lama di kamar mandi.

Bercita-cita menjadi seorang apoteker, pemilik tinggi badan 160 centimeter dan berat 45 kilogram ini tercatat sebagai salah satu siswi kelas III IPA 3 di SMAN I Mendoyo. Dunia obat-obatan memang telah menarik hati gadis yang akan merayakan hari jadinya yang ke-18 pada 17 September mendatang.

”Saya kira tak ada seorang pun yang mampu bertahan hidup lebih lama tanpa obat-obatan. Di sekolah, saya sangat tertarik dengan pelajaran Kimia. Memang tak banyak yang menyukai bidang ini. Tapi bagi saya, dunia ini penuh tantangan. Di sana saya dapat mempelajari unsur ataupun senyawa yang terkandung dalam suatu zat. Mungkin saja ada ’sesuatu’ yang baru yang berguna bagi kehidupan kita. Saya juga menanam lombok,” kata putri pasangan I Putu Sugiana dan Ni Ketut Nursri, yang ingin melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta.

Terlahir dalam sebuah keluarga berada, Mila termasuk sosok yang pendiam dan pemalu. Ini pulalah yang membuatnya betah dalam kesendirian, sekaligus mengajarkannya makna sebuah kerja keras, pengabdian, dan tanggung jawab, yang berujung pada keberhasilannya menyandang predikat juara umum di sekolahnya.

”Saya selalu berusaha menuntaskan segala sesuatu yang telah menjadi kewajiban saya. Semuanya harus dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai siswa dan anak. Seluruh prestasi ini adalah sebuah persembahan untuk Bapak dan Ibu. Tapi yang terpenting, kecerdasan itu tidak hanya harus dibangun dengan menjejali otak kita dengan ilmu-ilmu praktis saja, tetapi juga harus diimbangi dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa membuat pikiran lebih fresh. Salah satunya, ya dengan bermain sabuk, hahahaha.....,” gadis anggun berkulit sawo matang ini tertawa lepas.

Di mata Mila, sosok ayahnya menjadi panutan untuk membangun karakter dirinya. Dalam sosok ayahnya, ia belajar ketegasan, kewibawaan, dan kebijaksanaan. ”Bapak ’kan Kakan (Kepala Kantor) Satpol PP Jembrana. Dari Bapak, saya berusaha belajar tegas, tapi tetap bijaksana dalam menyikapi suatu permasalahan. Sesungguhnya, kebijaksanaanlah yang membuat kita berwibawa di mata masyarakat, bukan karena harta ataupun kedudukan,” penyuka warna merah jambu ini tegas.

Mila kembali terlarut dalam kesendiriannya. Ia melamunkan gelembung-gelembung yang terlahir dari buih sabun dalam genggaman tangannya. Dan Mila, kembali berdamai dengan kesendiriannya.