Mita: Pertama Wanginya, Lalu…

Teks & Foto: Nanoq da Kansas

Sore itu adalah kencan kami yang pertama. Tetapi dia sudah berani jujur berkata, bahwa kesan orang, pertama bisa dinilai dari wanginya. “Kalau seseorang itu wangi dan segar, berarti dia adalah orang yang bisa diandalkan karena punya kepedulian. Peduli dengan dirinya sendiri, berarti peduli dengan setiap hal. Bayangkan, kalau orang sudah tidak peduli kepada dirinya sendiri saja, bagaimana bisa diandalkan?” Begitu dia berargumen.
Bagi lajang yang Oktober nanti memasuki usia 23 ini, tahun ini adalah awal karier yang istimewa sekaligus penuh tantangan. Tamat dari STPDN, dia langsung mendapat job bersama para senior di bagian protokol Pemkab Jembrana. “Sesuatu yang bagi saya adalah riskan karena punya resiko langsung. Karena tugas ini menyangkut penjagaan citra, imej dan wibawa pemerintah daerah Jembrana. Jadi kami, harus selalu banyak belajar,” demikian alumnus SMA Negeri 1 Mendoyo ini.
Belajar bagi Mita, adalah dengan memberi perhatian penuh terhadap tugas yang sedang diemban. Tidak bisa diam begitu saja kalau belum sepenuhnya paham. “Rajin bertanya pada yang lebih berpengalaman, itu salah satu resep ampuh saya. Tidak usah malu bertanya untuk menjadi lebih baik,” lanjut pemilik nama lengkap Dwi Karyna Paramita ini. Dalam hal ini, Mita mengaku sangat percaya bahwa komunikasi adalah kunci untuk menyelesaikan masalah. “Tanpa komunikasi yang baik, segala sesuatu akan sulit diselesaikan. Ya, misalnya bertanyalah kalau kita belum bisa,” lanjutnya.
Mengaku suka bangun siang kalau sedang libur. Tetapi yang dimaksudnya dengan bangun siang itu adalah jam tujuh pagi. Juga mengaku tidak bisa memasak, tetapi yang dimaksudnya adalah memasak cap cay, spagheti dan sejenisnya. “Kalau memasak buat sehari-hari sih biasa, tetapi jarang karena gak sempat,” ujarnya tertawa.
Karena senja itu udara cukup panas, kami lalu ngobrol soal es jeruk. Lalu soal cendol. Nah, menyinggung cendol, wajahnya langsung antusias. “Itu sangat enak. Sayangnya sekarang sudah jarang orang bikin cendol. Sekarang industri telah mendorong orang untuk serba instan, tinggal buka tutup botol atau buka kaleng, selesai. Harus kita bangun kesadaran bersama bahwa modernisasi dan mesinisasi telah banyak merenggut potensi lokal kita. Kita jadi serba menggampangkan, dan cenderung malas,” keluhnya.
Sore itu kami tidak ngobrol soal warna kegemaran, tidak ngobrol soal makanan favorit, tidak ngobrol soal mode. Karena kami sepakat bahwa hal-hal seperti itu cenderung lebih mengalah kepada trend. “Coba saja lihat anak-anak remaja kita sekarang. Mereka bahkan sepertinya tidak peduli dengan mode. Mereka asal ikut trend saja. Kalau bicara soal mode, berarti kita bicara soal estetika atau nilai seni yang terkandung di dalamnya. Tetapi bagaimana kita bisa bicara estetika dalam trend celana melorot misalnya? Bagaimana kita bicara soal warna kegemaran kalau tiba-tiba setiap remaja mengaku suka warna pink? Semua berwarna pink. Dari sandal jepit, jepit rambut, sampe keset di kamar mandi warnanya pink. Lalu tiba-tiba semua orang suka warna kuning. Setiap toko baju menjual baju yang dominan kuning. Lalu berganti biru, semua biru. Padahal mereka hanya ngikut-ngikut dan tidak sadar sedang didorong oleh kapitalisasi yang punya industri. Dalam situasi begini yang untung cuma pabrik dan dagang,” demikian Mita.
Senja terus merayap. Segelas panjang es jeruk baru sedikit dicicipnya. Senja itu dia memang terburu waktu. “Please, the time is over,” dia gelisah. Lalu pamit dan bergegas, kerena petang itu Mita akan bertugas dalam acara puncak peringatan HUT ke-113 Kota Negara, dan dia harus berdandan. Selamat bertugas, Mita. Semoga kita akan bertemu lagi di senja yang lain…

1 komentar:

Dadap mengatakan...

cincin tunangannya besar sekali.. Jadi enggan brkomentar..