Perempuan & Beban Peradaban

Berbicara tentang keberadaan kaum perempuan di dalam wilayah politik demokrasi, kita sering terperangkap ke dalam mitos-mitos atas keberadaan kaum perempuan itu sendiri, yang kemudian dibalut berbagai perilaku adat budaya yang menjadi kendala dan membuat kaum perempuan semakin jauh dari partisipasi politik dan demokrasi itu sendiri.
Kendala pertama dan utama yang dihadapi kaum perempuan di banyak negara berkembang, termasuk juga Indonesia, adalah kendala sosio cultural yang senantiasa dikembangbiakkan sehingga benar-benar menjelma menjadi perangkap dan memasung perilaku kaum perempuan di kancah politik dan demokrasi.
Di sini sangatlah terasa, bagaimana adat dan budaya serta turunannya terasa demikian dominan di dalam membatasi gerak dan perilaku perempuan di ranah politik demokrasi. Kenyataan getir ini tentu semakin menjauhkan kaum perempuan dari wilayah yang sebenarnya menjadi ranah yang sangat terbuka bagi siapa saja.
Bukankah di ranah demokasi, penghargaan akan hak-hak azasi manusia serta persamaan akan hak dan derajat manusiawi tidak pernah dibedakan antara kaum pria dan kaum perempuan?
Dan pertanyaannya kemudian adalah, kenapa kaum perempuan kebanyakan sepertinya sangat menikmati keterpasungan kodratinya di ranah demokrasi dan politik?
Budaya Lanang Masih kuatnya cengkraman serta anutan “budaya lanang” yang dianut oleh masyarakat, memang terasa semakin meminggirkan kaum perempuan di dalam setiap tindak tanduk serta perilakunya. Bahkan di ranah adat, sangatlah terasa bagaimana aturan-aturan serta piranti-piranti adat secara sistematis memarginalkan keberadaan kaum perempuan di dalam setiap perilakunya. Kenyataan tak terbantahkan ini benar-benar membuat kaum perempuan berada pada wilayah ketidakberdayaan.
Kalaupun kaum perempuan harus dibuat berdaya, sejatinya itu tidak lebih dari sekedar perilaku yang bersifat simbolik dan formalistik. Seperti pembentukan dan keberadaan organisasi-organisasi bagi kaum perempuan, baik yang berlatar belakang adat ataupun non adat, seperti ”krama istri” hingga organisasi ibu-ibu dharma wanita, dharma pertiwi, bhayangkari, dan organisasi kaum ibu dan kaum perempuan lainnya.
Tidak Berdaya? Pertanyaannya kemudian, benarkah kaum perempuan tidak berdaya?
Banyak penelitian menyatakan ternyata di balik sebutan kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, di sana terselip kekuatan yang amat sangat besar yang dapat mempengaruhi setiap keputusan yang akan diambil kaum pria. Contoh paling radikal adalah bagaimana keberadaan dan pengaruh sosok Ibu Tien Soeharto, sehingga digambarkan sebagai tokoh yang mampu dan secara dominan dapat mempengaruhi setiap keputusan-keputusan yang harus diambil oleh Pak Harto saat menjabat sebagai Presiden RI.
Lantas, bagaimanakah dengan keberadaan kaum perempuan yang lain? Di dalam hasil penelitiannya, Hildred Geertz menyatakan bahwa sejatinya kaum perempuan mempunyai pengaruh yang sangat besar di alam rumah tangganya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan-keptusan akhir di alam rumah tangga diberikan/diambil oleh seorang istri (kaum perempuan-red). Lantas apa makna dari hasil penelitian Geertz bagi peran kaum perempuan di dalam membangun peradaban serta budaya politik dan demokrasi?
Meskipun keberadaan kaum perempuan di dalam rumah tangga dianggap berpengaruh, tetapi di luar ranah itu, posisi, peran, dan status kaum perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. Sebagai contoh, di dalam setiap pertemuan atau forum baik dinas maupun adat, suara perempuan memang tidak pernah didengarkan. Bahkan hak untuk hadir pun sering tidak ada serta diabaikan. Perilaku ini semakin menegaskan, secara kultural, kaum perempuan belumlah mampu sejajar dengan kaum pria.
Jika diasumsikan bahwa apa yang menjadi hasil penelitian Geertz itu benar adanya, maka itu berarti peran kaum perempuan untuk ikut terlibat di dalam membangun peradaban dan budaya politik demokrasi dapat dimulai dari tataran rumah tangga. Karena memang di sanalah kaum perempuan memiliki kuasa dan kekuasaan, termasuk kekuatan untuk mempengaruhi kaum pria (suami-red) untuk menyuarakan hak-hak politik dan demokrasi mereka (kaum perempuan-red) pada tataran yang lebih luas, di luar rumah tangga mereka!
Ditulis oleh: DS. Putra

Tidak ada komentar: