Ratih, Kalau ndeso ya Ndeso Sajalah

Teks: Nanoq da Kansas, Foto: De'a Yogantara

Ratih adalah nama Sang Dewi Bulan. Dewi yang berbagi tugas dengan Pangeran Matahari ketika gelap mulai turun ke dunia. Semacam kesadaran untuk berbagi tugas. Semacam emansipasi yang didasari pemahaman atas tempat dan waktu.
Tetapi Gusti Ayu Putu Ratih Pradnyandari merasa cantik kalau sedang mengenakan busana tradisional Bali. Entah siang atau pun di malam hari, balutan kebaya, kain tenun buatan tangan, sesenteng berikut gonjeran dengan setangkai cempaka emas yang terselip di lengkung ujung rambutnya, membuatnya merasa leluasa mengungkapkan identitas dirinya. “Ya, saya seorang perempuan. Seseorang yang akan berbagi dengan laki-laki menjalankan tugas-tugas dalam kehidupan. Perempuan dan laki-laki tidak boleh saling mendominasi. Keduanya harus sinergis, keduanya harus punya tepa selira agar perjalanan hidup menjadi lancar. Perempuan adalah perempuan, lelaki adalah lelaki. Tetapi keduanya dipasangkan Tuhan dengan tugas masing-masing yang bersifat kodrati. Itulah seharusnya emansipasi dan kesetaraan jender. Hanya saja lelaki terkadang agak egois. Tetapi, ah, perempuan juga sering egois. Sama saja. Jadi, ya, keduanya harus sama-sama nyadar,” ujarnya pada obrolan di sebuah siang.
Ratih baru saja selesai mengikuti Ujian Nasional. Tak lama lagi dia akan meninggalkan almamaternya, SMA Negeri 1 Negara. Ada dua pilihan untuk kelanjutan pendidikan yang ingin ditempuhnya, psikologi di Unair Surabaya atau kedokteran di Unud Denpasar. Kenapa psikologi? “Saya suka, dan ingin bisa memahami kehidupan manusia dari sisi kejiwaannya,” jawabnya mantap.
Bicara soal kejiwaan, dara berbintang Pisces ini merasakan ada persoalan dengan generasi muda bangsanya saat ini. Terutama di dunia pendidikan yang belakangan ini seolah dijadikan “permainan” oleh mereka yang merasa punya kuasa. “Suka atau tidak, kami anak-anak sekolah sekarang ini pada stress semua. Habis, kami diperlakukan seolah-olah mesin penyedot debu. Semua program pendidikan datangnya secara mendadak seperti debu di karpet ruang tamu. Tiba-tiba ada kurikulum KBK. Tiba-tiba ada kurikulum RAL. Sekonyong-konyong ada Ujian Nasional yang dibuat begitu menyeramkan dengan patokan harga mati. Sekonyong-konyong harus ada pelajaran dengan istilah muatan lokal, tetapi tidak jelas substansinya. Pokoknya, murid-murid dan para guru di Indonesia dibuat bingung,” serunya.
Ngobrol dengan penyandang gelar Juara III Pembaca Sloka se-Provinsi Bali ini memang seru. Dalam usia yang masih dini, wawasannya sudah begitu luas. Dia tak segan-segan melontarkan kritik terhadap sesuatu yang dilihatnya timpang, tetapi juga dengan jujur memuji yang dilihatnya baik. “Kalau yang jelek-jelek tidak boleh dikritik, lantas nanti jadi apa kita ini? Kalau maunya dipuji melulu, nanti kita justru jadi tertawaan orang lain,” ujarnya pula.
Seperti halnya remaja putri pada umumnya, Ratih juga suka nonton televisi. Dari trend acara televisi belakangan ini, dia menangkap fenomena sosial yang menarik pada bangsa ini. “Kalau mau belajar dari situasi dan fenomena yang ada, sebenarnya saat ini masyarakat sedang mengajak para elit kita untuk jujur dan kembali kepada diri sendiri. Coba saja lihat figur-figur publik yang belakangan ini diidolakan masyarakat bawah. Ada Oneng dan Thukul. Keduanya sangat digemari dan mampu mengangkat ratting acara televisi secara luar biasa. Dan kedua-duanya adalah figur o’on. Itu artinya, kita semua sudah lelah, bosan dan muak dengan hal-hal yang seolah-olah dibuat serius tetapi tak pernah ada hasilnya. Maka sekarang kita ingin segala sesuatu berjalan apa adanya saja. Kalau bangsa ini adalah bangsa o’on ya akui saja memang o’on. Kalau bangsa ini bangsa katrok atau ndeso, yang memang itulah kita sebenarnya. Gak usah ditutup-tutupi dengan pura-pura intelek, pura-pura fasih berteknologi, pura-pura santun. Buktinya sampai sekarang kita memang ndeso,” demikian sulung yang meraih gelar terbaik se-Jembrana sebagai Penari Oleg ini.
Kembali ngobrol soal dunia pendidikan, Ratih dengan agak murung mengatakan bahwa para siswa di Indonesia saat ini adalah generasi yang sesungguhnya telah kehilangan hak belajarnya. “Setelah kelas tiga SMA ini, saya mulai menyadari bahwa sistem pendidikan kita saat ini tidak cukup baik. Terutama setelah ada Ujian Nasional itu. Sekolah-sekolah dan ruang kelas kita berubah menjadi hanya tempat kursus untuk tiga mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, sebagai generasi muda yang sedang belajar, generasi saya ini adalah generasi yang kehilangan proses belajar yang semestinya. Padahal proses itu adalah hak yang harus diberikan kepada generasi muda agar pendewasaannya berjalan baik. Saya kira para elit perlu memikirkan ini kembali,” pungkas penyandang Juara Umum III di sekolahnya ini.

Tidak ada komentar: