Mila dan Filsafat Sabun Mandi

eks: Wendra Wijaya

Foto: De'a Yogantara
Busa itu menggeliat dalam genggaman tangannya. Sesekali, gelembung yang terlahir dari gumpalan buih putih itu melayang, lalu sirna seketika....

Memandang gumpalan lembut di tangannya, gadis itu termenung. Di matanya, terlihat sebuah cinta dan pemaknaan sebuah hidup. Ada kebahagiaan dan ketenangan dalam sebuah upacara; berdamai dengan kesendirian!

Ya, saya selalu seperti ini. Biarpun di sekeliling saya banyak orang, entah itu keluarga, teman, saudara, saya selalu merasa sendiri. Tapi saya bahagia dan sangat menikmatinya! Tidak ada yang lebih mengasyikkan dari memainkan busa sabun mandi. Gelembung yang tercipta dari sabun mandi ini sudah menjadi teman. Bahkan tak jarang, saya sering melamunkan sesuatu saat menciptakan gelembung sabun ini,” kata Mila membuka obrolannya.

Bagi pemilik nama lengkap Ni Ketut Mila Puspita Sari, banyak hal yang dapat dipelajari dalam ”upacara” itu. Tentang cinta, keindahan, ketenangan, pun sebuah ketidakabadian. Di matanya, segala keindahan sama halnya dengan ketidaksempurnaan. Seluruhnya tidak akan tetap utuh dan kemudian sirna.

”Gelembung sabun itulah contohnya. Saat tercipta, ia melayang berkilauan dan menyajikan keindahan yang tak terbantahkan. Tapi itu hanya sesaat saja. Seluruhnya akan kembali ke asalnya. Sirna dan tak berbentuk,” ucap gadis yang mengaku betah berlama-lama di kamar mandi.

Bercita-cita menjadi seorang apoteker, pemilik tinggi badan 160 centimeter dan berat 45 kilogram ini tercatat sebagai salah satu siswi kelas III IPA 3 di SMAN I Mendoyo. Dunia obat-obatan memang telah menarik hati gadis yang akan merayakan hari jadinya yang ke-18 pada 17 September mendatang.

”Saya kira tak ada seorang pun yang mampu bertahan hidup lebih lama tanpa obat-obatan. Di sekolah, saya sangat tertarik dengan pelajaran Kimia. Memang tak banyak yang menyukai bidang ini. Tapi bagi saya, dunia ini penuh tantangan. Di sana saya dapat mempelajari unsur ataupun senyawa yang terkandung dalam suatu zat. Mungkin saja ada ’sesuatu’ yang baru yang berguna bagi kehidupan kita. Saya juga menanam lombok,” kata putri pasangan I Putu Sugiana dan Ni Ketut Nursri, yang ingin melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta.

Terlahir dalam sebuah keluarga berada, Mila termasuk sosok yang pendiam dan pemalu. Ini pulalah yang membuatnya betah dalam kesendirian, sekaligus mengajarkannya makna sebuah kerja keras, pengabdian, dan tanggung jawab, yang berujung pada keberhasilannya menyandang predikat juara umum di sekolahnya.

”Saya selalu berusaha menuntaskan segala sesuatu yang telah menjadi kewajiban saya. Semuanya harus dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai siswa dan anak. Seluruh prestasi ini adalah sebuah persembahan untuk Bapak dan Ibu. Tapi yang terpenting, kecerdasan itu tidak hanya harus dibangun dengan menjejali otak kita dengan ilmu-ilmu praktis saja, tetapi juga harus diimbangi dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa membuat pikiran lebih fresh. Salah satunya, ya dengan bermain sabuk, hahahaha.....,” gadis anggun berkulit sawo matang ini tertawa lepas.

Di mata Mila, sosok ayahnya menjadi panutan untuk membangun karakter dirinya. Dalam sosok ayahnya, ia belajar ketegasan, kewibawaan, dan kebijaksanaan. ”Bapak ’kan Kakan (Kepala Kantor) Satpol PP Jembrana. Dari Bapak, saya berusaha belajar tegas, tapi tetap bijaksana dalam menyikapi suatu permasalahan. Sesungguhnya, kebijaksanaanlah yang membuat kita berwibawa di mata masyarakat, bukan karena harta ataupun kedudukan,” penyuka warna merah jambu ini tegas.

Mila kembali terlarut dalam kesendiriannya. Ia melamunkan gelembung-gelembung yang terlahir dari buih sabun dalam genggaman tangannya. Dan Mila, kembali berdamai dengan kesendiriannya.

Tidak ada komentar: