Gek Riris, Gerimis Temani Sepiku...

Teks: Wendra & Nanoq da Kansas

Foto: De'a Yogantara
Rintik gerimis yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan, menciptakan semburat pelangi di sore itu. Keheningan pun menciptakan rasa tenteram pada pertemuan kami. “Berteduhlah, sekalipun di luar hanya gerimis,” ucap dara itu. Lalu kami masuk lebih jauh di salah satu ruang Puri Singaraja, Buleleng, kediaman mahasiswi Undiksha itu. Nuansa religius begitu kental menyapa. Dan berbagai benda antik yang ditata sedemikian rupa, semakin mengristalkan aroma spriritul khas sebuah puri.

Kendati tubuh indahnya dibalut kebaya bergaya khas remaja, senja itu Gek Riris toh belum sepenuhnya dapat menghapus gurat duka di wajahnya. Kepergian Ayahandanya menghadap Sang Khalik beberapa waktu lalu sangat memukul perasaannya. “Tapi ya, beginilah konsekuensi kehidupan. Manusia lahir, tumbuh dan diakhiri dengan kematian. Meski sedih, semuanya harus tetap berjalan. Bukankah kehidupan tidak boleh terhenti oleh proses kematian seseorang? Memang terasa sulit, tetapi kehidupan harus tetap berjalan. Belakangan ini, gerimis adalah teman kesedihan saya,” begitu puitisnya dara pemilik nama lengkap Anak Agung Ayu Rahadiani Cwari ini.

Dan gerimis pun memang menjadi teman dalam percakapan kami. Setidaknya, semburat pelangi yang membuat anggun cuaca sore itu, cukup menghibur hati. Sementara itu, bagi dara berusia 19 tahun yang lahir di Denpasar, 26 Juni ini, daya tangkapnya atas fenomena kehidupan yang kemudian dipahaminya dengan sederhana, telah mampu dijadikannya pemicu untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kampung halamannya, Singaraja. Predikat “Jegeg Bali 2007” pun berhasil diboyongnya. “Kita tidak boleh asal-asalan ketika akan memulai sesuatu. Saya ingin dalam mengerjakan sesuatu harus benar-benar total dan tuntas. Tidak boleh setengah-setengah. Dan itu tentu membutuhkan keikhlasan. Kecerdasan itu tidak hanya dibangun dengan penjejalan ilmu-ilmu praktis, tapi juga harus dibangun dari wilayah spiritual dan pengendalian emosi,” ujar Riris seolah kepada dirinya sendiri.

Penyuka warna merah, hitam dan pink yang juga penghobi berbagai buku bacaan ini, memiliki minat yang begitu besar pada budaya dan bahasa Jepang. “Saya memilih jurusan Bahasa Jepang. Gadbatte kudasai, selamat sukses, hahaaaa…. Sekarang tidak banyak yang mempelajari budaya Jepang. Bagi saya, banyak pelajaran yang dapat diambil dan ditiru dari budaya Jepang, terutama kedisiplinan masyarakatnya. Kalau dibandingkan Jepang, negara kita tidak ada apa-apanya. Nah, mengapa kita tidak mencoba belajar dan menerapkan sisi-sisi positif dari budaya Jepang itu? Saya rasa itu akan bisa membawa perubahan yang lebih baik. Seperti yang saya dengar, untuk daerah di Bali mungkin baru Jembrana yang sedang mengadopsi dan menerapkan beberapa sisi positif budaya masyarakat Jepang,” lanjut pemilik kulit sawo matang ini.

Iya, Jembrana memang menjadi daerah yang sangat dikagumi pemilik tinggi badan 162,5 centimeter dan berat 50 kilogram ini. Kiprah anak-anak muda Jembrana dalam kesenian, menjadi makna dan nilai tersendiri di hati Riris. “Meski belum pernah datang ke Jembrana, saya telah banyak mendengar keberhasilan dan kemajuan Jembrana di bawah kepemimpinan Bupati Winasa. Keren banget! Jembrana yang dulunya hanya kabupaten kecil di Bali, kini sudah menjadi primadona di tingkat nasional bahkan internasional. Pergaulan kreatif pemuda Jembrana juga semakin membuat saya tertarik datang ke sana. Dari sisi seni budaya, karya-karya anak muda Jembrana semisal puisi dan musik, tentulah hasil dari pergaulan kreatif mereka dengan wawasan yang lebih luas serta tidak terlepas dari kerjasama dengan generasi yang lebih tua. Artinya, saya melihat generasi muda Jembrana adalah generasi yang berjiwa terbuka dan mau belajar keras,” demikian apresiasinya.

Segudang prestasi ditambah kharisma yang dimilikinya, tidak membuat anak kedua dari pasangan AA. Ngurah Dirgha (almarhum) dengan Sumarni Astuti ini berperilaku sebagai sosok yang merasa “lebih”. Kesederhanaan yang terpancar dari tutur kata dan perilakunya itu, juga menjadi anutannya dalam menentukan sosok pria idaman. “Lelaki yang mendapat tempat di hati saya adalah sosok yang bisa memberi kasih sayang yang tulus tanpa banyak menuntut. Sebenarnya dalam melakukan beberapa hal, saya banyak meminta saran teman,” Mereka juga yang telah menjadi sumber inspirasi dan motivator saya untuk melakukan segala sesuatu yang positif,” demikian gadis pengagum film Black Hawk Down inI.

Gerimis tiba-tiba berhenti. Mentari perlahan muncul dengan semburat yang cerah. Gek Riris termangu, entah memikirkan apa. Mungkinkah keindahan mentari selepas hujan telah memberinya harapan-harapan baru? Kemudian senyum manis tersungging di bibirnya. Entah untuk siapa. Mungkinkah untuk gerimis yang senantiasa setia menjadi teman sepinya? Entah!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

enak abizzz. senang lho baca baca rubrik ini, tapi kok foto penulisnya ngak macho gitu.. ganti dong fotonya pak wendra yang lebioh jelas lagi ya. Untuk Gek Riris waoooo mantep nih ye.. dah cantik seksi lho. Selamat tuk Bungan Natah Jembrana!